Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Aku termenung, merenungi hidupku kini. Mengapa dulu
aku dengan mudahnya menuruti kemauanmu? Mengapa aku tidak memikirkan apa
akibatnya? Ohh.. baru kusadari bahwa penyelasan datangnya di belakang. Semua
orang menjauhiku, bahkan orang tuaku sendiri. Mereka yang dulu merawatku,
mendidikku, bahkan memanjakanku, kini semua hanya kenangan karena kesalahan
yang ku lakukan. Beberapa kali aku meminta maaf, namun apa daya, permintaanku
sia-sia. Bagai roti yang telah basi, dibuang, dan tak dibutuhkan lagi. Setelah
sekian lama aku bertahan di rumah dengan 1011 olokan dari kerabat dan
sahabatku, aku pun memutuskan untuk pergi dari rumah. Entah tinggal di mana.
Kini aku sendiri, tanpa orang-orang yang kusayang.
Aku berpikir, jika aku tidak bangkit dari keterpurukan ini, akan menjadi apa
aku? Iya, aku harus bangkit, aku harus berusaha untuk menjadi orang yang baik.
Kucoba untuk mencari pekerjaan, tujuan pertamaku adalah ke restorant terdekat.
“Bolehkah saya
bekerja di sini?” tanyaku dengan penuh harap.
“Maaf, kami tidak
membuka lowongan pekerjaan,” jawab seorang laki-laki.
“Baiklah.
Permisi,” jawabku. Agak kecewa memang.
Aku menengok ke kanan dan kiri, ke toko sekitar. Aku
melihat ada sebuah butik di ujung jalan sana. Dengan wajah berseri-seri aku
berjalan cepat ke sana. Memang, di sini jarang terdapat cafe ataupun butik, maka beruntunglah aku telah menemukan butik
itu. Sesampainya di sana, kulihat nama butik ini “VIA COLLECTION”, dengan
langkah pasti aku memasuki butik itu.
“Permisi, Bu..
Apakah di sini membuka lowongan pekerjaan?” tanyaku harap-harap cemas.
“Iya, kami sedang
membuka lowongan pekerjaan. Apakah adek berminat?” jawab seorang wanita paruh
baya yang sangat fashionable.
“Iyaa Bu, saya
berminat. Apa yang harus saya lakukan?” tanyaku dengan perasaan senang.
“Kamu akan
menjadi pelayan di sini. Harus bersikap ramah pada pelanggan dan juga cekatan
karena akhir-akhir ini butikku ramai, tetapi kamu juga harus menginap di sini,”
jawab Ibu itu. “Apa adek mau?” lanjutnya.
“Iyaa Bu, saya
mau. Oh iya Bu perkenalkan, nama saya Destrianti Adelina. Biasa dipanggil
Destria Bu,” jawabku sambil tersenyum manis.
“Okey, saya Via,
panggil saja Bu Via. Besok kamu mulai bisa bekerja di sini. Pakailah seragam
yang ada di ruang ganti dan kamu harus sampai sebelum pukul 08.15. Apakah bisa
dimengerti?” ucap Bu Via panjang lebar.
“Iya Bu, saya
mengerti. Kalau begitu saya pulang dulu ya Bu,” ucapku dengan wajah berseri
sambil mencium tangan Bu Via dan langsung melangkah pergi. Aku begitu bahagia
karena aku telah mendapatkan pekerjaan sekaligus tempat tinggal. Berkahnya hari
ini.
Keesokan harinya, aku bangun lalu mulai membereskan
baju dan barangku, juga satu-satunya karpet yang ada di rumah pohon ini.
Setelah semuanya siap, aku pun mengambil baju ganti dan menuruni anak tangga
yang sudah mulai usang itu. Tempatku biasa membersihkan badan adalah di kamar
mandi umum yang letaknya tak jauh dari sini. Aku pun berangkat dengan menaiki
angkot.
Memerlukan waktu 30 menit agar bisa sampai ke Via
Collection. Sesampainya di sana, aku langsung menurunkan barang-barangku dan
masuk ke butik tempatku bekerja kini. Di sana, aku menemuka Bu Via yang sedang
berbicara dengan seorang perempuan, nampaknya perempuan ini juga bekerja di
butik ini.
“Eh, Destria
sudah datang rupanya. Ini kenalin dulu, namanya Alicia. Dia kasir di sini,”
ucap Bu Via yang menyapaku terlebih dahulu.
“Destria,” ucapku
sambil tersenyum dan menjulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Alicia,”
jawabnya sambil tersenyum pula dan menjabat uluran tanganku.
“Baik, Alicia
tunjukkan kamar juga seragamnya yaa. Saya tingga dulu karena ada urusan, semoga
kamu senang di hari pertamamu ini ya Destria,” ujar Bu Via panjang lebar lalu
beliau meninggalkan kami.
“Mari aku
tunjukkan kamar kita,” ajak Alicia. Aku hanya menggangguk sambil mengikutinya
dari belakang.
“Ini dia kamar
kita! Yang itu tempat tidurku dan yang satunya tempat tidurmu. Letakkan dulu
barang-barangmu di sana, bar nanti ku beri tahu seragammu,” ucap Alicia.
“Okay,” jawabku
sambil masuk dan meletakkan barang-barangku. Kamar ini memang tidak terlalu
luas, namun lebih dari cukup untuk ku tempati berdua dengan Alicia.
“Apakah di sini
ada pegawai lain?” tanyaku sambil menata beberapa barangku.
“Ada, namanya
Thalia dan dia juga pelayan di sini, sama sepertimu,” jawab Alicia.
“Ohh,” jawabku
singkat.
Setelah semuanya siap, kami pun mulai membersihkan
butik. Beberapa menit kemudian Thalia datang dan kami sempat berkenalan
sebentar sebelum ia ikut membantu kami.
**
Tak terasa, 6 bulan sudah aku bekerja di sini dan
sekarang sedang libur hari raya. Sebenarnya aku rindu dengan keluargaku, tapi
aku takut untuk pulang. Akhirnya aku menghibur diri dengan berjalan-jalan di
taman kota. Aku duduk termenung sendirian di sini, melihat-lihat pepohonan yang
asri menyegarkan mata. Tiba-tiba, ada seseorang yang menepukku dari belakang.
Aku terkesiap dan langsung menengok, ternyata Jonathan, ia tengah tersenyum
lebar padaku. Jonathan adalah teman SMA ku dulu. Sudah lama kami tidak bertemu,
kami pun saling menceritakan pengalaman dan kisah hidup masing-masing. Tak
terasa, waktu sudah sore dan dia mengantarkanku pulang. Saat di jalan, ia
bercerita bahwa dia masih tetap memakai NARKOBA hingga kini, tetapi aku diam
saja. Setelah Joe tahu kalau aku bekerja di Via Collection, ia jadi sering
mengunjungiku.
**
Suatu hari, saat aku sedang menata baju di lemari
kaca, ada seseorang yang memanggilku.
“Mbak, tolong dong,” panggilnya. Aku pun langsung
menoleh dan seketika aku merasa intensitas udara di sekitarku menipis.
“Ohh, lo
ternyata. Bisa dapet kerjaan juga ya? Gue
pikir setelah lo pake NARKOBA, lo jadi gak waras!” ucap orang itu
dengan nada sarkasme dan suara yang keras. Beberapa pelanggan menoleh ke
arahku, dan aku sangat malu dibuatnya.
Dia adalah Rena, dulu ia adalah sahabat terbaikku.
Namun, saat aku terjerumus ke NARKOBA, dia malah
menjauhiku dan selalu menyindirku seperti ini, bahkan di saat aku sudah
berubah. Aku pun hanya diam dan menunduk, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Sekilas ku melihat senyum jahat tersungging di bibirnya, Rena yang sekarang
memang bukan Rena yang pernah kukenal.
Terguncanglah hatiku kini, kalau semua teman-teman
menganggapku seburuk itu meski aku sudah berubah, apa lebih baik aku seperti
itu lagi? Memang ini bodoh, namun entah kenapa tanpa berpikir panjang aku
langsung mengubungi Joe. Aku menceritakan semua yang terjadi hari ini dan
bodohnya aku bertanya padanya, apa lebih baik aku ‘memakai’ lagi? Dengan nada
yang pasti ia menjawab “YA” dan akhirnya aku mulai memakai benda terlarang itu
lagi.
**
Setelah 3 bulan berjalan, tiba-tiba Bu Via
memanggilku dengan tatapan dingin dan di sampingnya ada Thalia. Aku bingung,
biasanya Bu Via tidak pernah semarah dan sedingin ini padaku, ada apakah
gerangan?
“Destria, kamu
DIPECAT,” ucap Bu Via dengan nada yang masih dingin dan tegas. Aku shock seketika, aku tak salah dengar
bukan?
“A..apa Bu?”
tanyaku tergagap tak percaya. Tenggorokanku pun terasa kering tiba-tiba.
“YA. KAMU SAYA
PECAT KARENA KAMU TELAH MEMAKAI ‘INI’. SAYA TAK SUKA PUNYA KARYAWAN SEPERTI
ITU!!” jawab Bu Via sambil melemparkan sebungkus ganja, wajahnya merah padam dan
terlihat sekali bahwa ia sangat marah.
Aku merasa darahku berhenti mengalir, sudah kuduga
bahwa cepat atau lambat Bu Via akan mengetahuinya. Sekilas ku melirik pada
Thalia, ia menyunggingkan senyum licik sambil memilin-milin rambutnya. Dengan
langkah lambat, aku pun masuk ke kamar, membereskan semua barangku, dan aku pun
kembali ke rumah pohon lagi.
**
Beberapa hari di rumah pohon, aku merenung. Mengapa
aku bisa terjatuh dua kali dengan hal yang sama? Aku berpikir sejenak, lalu aku
menyadari sesuatu. Sesuatu yang telah lama aku lupakan. Tentu ini karena aku
terlalu jauh dari Tuhan, sejak kecil ayah-bundaku selalu mengajariku shalat,
mengaji, dan puasa. Tapi semuanya kini kutinggalkan. Ya Allah, ampunilah dosa
hamba-Mu ini, aku ingin mencoba memperbaiki sifatku dan lebih dekat dengan-Mu.
Aku pun langsung bangkit mencari mukena lamaku, terlihat lecek karena tak
pernah kupakai shalat bertahun-tahun belakangan ini, aku pun langsung beranjak
ke masjid terdekat.
Setelah mencurahkan segala keluh kesahku kepada
Allah, aku merasa lebih tenang sekarang. Rasanya amat damai, Alhamdulillah ya
Allah, Engkau telah menyadarkan diri yang begitu kotor ini. Saat aku keluar
dari masjid, tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Destria, kamu
Destria kan?” tanya seorang pemuda, nampaknya ia juga baru saja shalat.
“Iya, kamu siapa
ya?” tanyaku. Aku merasa tak mengenalinya.
“Aku Dony, tukang
ojek yang sering mengantarkan penumpangku ke Via Collection,” jawabnya. “Dan
Alicia itu temanku,” lanjutnya.
“Ohh yaa, aku
ingat. Kamu yang sering tersenyum padaku itu ya?” jawabku setelah berusaha
mengingatnya. Efek benda terlarang itu memang masih mempengaruhi otakku, meski
kini aku sudah tak pernah menyentuhnya lagi.
“Iya, kamu sudah
tidak bekerja di sana lagi ya? Kamu tinggal di mana?” tanya Dony.
“Aku di rumah
pohon seberang jalan itu,” jawabku sambil menunjuk letaknya.
“Ohh, apa aku
boleh mampir?” tanya Dony.
“Tapi.. gimana
ya, tak pantas rasanya kalau aku menerima tamu di sana,” jawabku malu,
mengingat tempat tinggalku yang jauh dari kata layak itu.
“Kenapa? Nggak papa kok, kamu tidak perlu malu
padaku,” ucapnya.
Aku menolaknya untuk berkunjung ke rumah pohon, dan ia
tak mempermasalahkannya lagi. Dia orangnya baik dan humoris, aku pun merasa
terhibur berbincang dengannya.
Sampai akhirnya, aku menceritakan masalahku padanya.
Ternyata, dia sudah tahu hal ini dari Alicia. Dia bisa memahamiku karena dia
juga pernah mengalami hal yang sama sepertiku sehingga dia pergi dari rumah
karena ingin menghindari teman-teman yang mengajaknya. Dony banyak memberiku
nasihat dan motivasi, sehingga aku merasa nyaman mengobrol dengannya. Dari sini
aku juga merasa punya teman yang bisa mengerti aku dan membangkitkan
pemikiranku yang dangkal. Bahwa aku harus terus menjalani hidupku ini dengan
hal yang lebih baik dan berguna untukku dan semua orang yang dekat denganku.
Aku tidak mau terjerumus ke benda terlarang itu lagi. Aku harus terus
mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa untuk mempertebal keimananku kepada-Nya
sehingga aku tak mudah terjerumus ke dalam hal-hal yang buruk lagi.
Dony juga mengingatkanku akan orang tuaku. Aku
berpikir, apa aku akan diterima oleh mereka? Pada akhirnya, aku memutuskan
untuk berani pulang. Ternyata, semuanya tak seperti yang kubayangkan, mereka
menyambutku dengan hangat. Mereka juga mengatakan rindu padaku. Aku pun meminta
maaf dan berharap mereka mau menerimaku lagi. Kenyataannya, mereka telah
memaafkanku dan sekarang aku kembali di tengah keluargaku lagi. Terima kasih
Dony, malaikat penolongku.
Semua tergantung kepada diri kita, orang lain tidak
bisa merubah kita kecuali kita sendiri yang mau berubah.
By the way, ini cerpen buatanku jaman SMP lagi
hihi. Mohon maaf karena aku mem-posting
karya lamaku, begitu padatnya tugas dan kegiatan dari kelas 12 saat ini
membuatku tak bisa fokus menulis dan selalu tersendat hehe.
Komentar
Posting Komentar