Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Aku adalah tipe orang yang serius dan tertata. Sejak kecil, aku
memang dididik untuk tidak banyak berbicara hal yang tak penting. Hal ini
akhirnya menjadi kebiasaanku sejak kecil hingga remaja. Aku lebih suka sendiri
saat belajar, meski begitu aku tak kurang pergaulan karena temanku pun bisa
dibilang banyak, tapi bila belajar aku paling membenci keramaian. Saat SD aku
lalui dengan biasa, saat ada yang ramai pasti aku langsung berteriak dan
semuanya akan diam. Jadi saat itu aku masih bisa menyesuaikan diri.
Saat SMP, Alhamdulillah aku masuk ke kelas Akselerasi. Mungkin
beberapa dari kalian tau, kalau anak akselerasi itu rata-rata ber-IQ lebih dari
130. Dan biasanya anak-anak ber-IQ tinggi lebih introvert dan sikapnya cuek.
Maka dari itu, saat SMP aku merasa lebih nyaman karena teman-temanku tidak
banyak bicara saat belajar (meskipun saat bercanda juga ramai), tapi minimal
mereka sangat menghargai guru saat mengajar. Maka dari itu, masa SMP kulalui
dengan bahagia.
Namun saat SMA, aku kedapatan kelas yang isinya anak-anak humoris
semua. Mereka sering bercanda dan ramai saat guru sedang mengajar, dan jujur
itu sangat menggangguku. Awalnya aku sangat sulit untuk beradaptasi di sini
karena mereka yang kebanyakan bicara, hingga aku sering marah-marah karena
mereka ramai dan aku dianggap egois. Aku sebenarnya sudah menyadari kalau egois
semenjak kecil, namun orang tuaku tak mempermasalahkannya, maka dari itu aku tak
memikirkannya juga.
Beberapa teman sekelas tak suka padaku (khususnya perempuan yang
sering ramai) dan aku menyadari hal itu, karena meski aku tak terlalu dekat
dengan mereka, aku bisa peka akan aura yang mereka lontarkan padaku. Aku
sebenarnya ingin mengubah sifatku ini menjadi lebih baik, namun aku bingung,
aku harus mulai dari mana? Hingga suatu hari, aku masih sangat ingat dengan
jelas kejadian ini. Suatu sore aku sedang duduk-duduk di depan sanggar PRAMUKA
karena hari itu aku sedang piket sanggar. Ada salah satu teman sekelasku
perempuan (sebut saja Runni) yang mendatangiku. Ia dulunya juga satu SMP
denganku, maka dari itu aku memanggilnya ‘Kak Runni’.
Waktu itu, dia bercerita tentang persepsi buruk teman-teman
terhadapku. Aku tak kaget sama sekali, karena pemikiranku tentang mereka memang
tepat. Akhirnya aku bertanya, apa yang harus kulakukan untuk merubah sifatku
ini? Akhirnya dia menyarankan beberapa hal yang harus kulakukan agar bisa
berubah. Aku tak ingat detailnya, tapi satu hal yang masih kuingat adalah mulai
keesokan harinya kumulai mencoba untuk melakukannya. Akhirnya, lambat laun aku
pun bisa mengendalikan emosiku. Teman-teman yang awalnya sinis terhadapku pun
akhirnya mulai membaik dan sampai sekarang kami berteman seperti biasanya.
Terima kasih untuk kamu, yang sudah datang padaku di saat yang tepat dan
memberiku saran yang sedemikian berharga. Mungkin tanpamu, aku masih jadi
remaja egois yang sering marah.
Terima kasih banyak, Kak Runni.
Komentar
Posting Komentar