Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Senin dan Ingatan Lama

Senin. Aku sempat bertanya-tanya, apa yang harus kutulis di hari senin kali ini? Tepat pukul 06.30 aku memulai perjalanan ke sekolah. Gerimis tipis yang menghujani sedikit membuatku merinding karena dingin, masih sekitar 15 menit lagi hingga aku sampai di sekolahku tercinta. Jarak dari rumah ke sekolahku lumayan juga, sekitar 8 kilometer. Langit mendung sedikit gerimis inilah yang mengantar perjalananku menuju sekolah. Saat itu aku sedang berpikir, apa yang akan ku tulis hari ini. Karena masih stuck bingung harus mulai menulis dari mana, aku pun mulai melihat-lihat ke sekitar. Tepat saat aku melihat ke arah depan, terpampang nyata bangunan megah Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri. Di waktu yang sama pula, ingatan-ingatan masa lalu yang sebelumnya terurai menjadi puzzle pun seolah terpampang nyata di hadapanku.
Saat ku melihat seorang perempuan berhijab dengan badge hijau di lengan kanannya -yang berarti ia masih kelas VII SMP- membawa berbagai tas, hingga kedua tangannya penuh dengan tas dan langkahnya tergesa, aku jadi ingat kalau aku dulu pernah menjadi perempuan itu. Saat aku melihat perempuan itu melangkah ke gerbang dan tersenyum ke semua petugas GDS (Gerakan Disiplin Sekolah) yang ada, aku jadi ingat bahwa beberapa tahun lalu pun ada pula yang bersikap seperti itu. Banyak kenangan manis yang tersimpan kuat di memori otakku saat kami -Akselerasi generasi pertama sekolahku- masih duduk di bangku SMP. Masa SMPku memang dibilang cukup singkat, hanya 2 tahun, dan mungkin kalian merasa waktu 2 tahun hanyalah sebentar. Memang, 2 tahun memang sebentar, tapi dengan waktu yang sebentar itu bisa membuat kami menjadi orang yang lebih baik.
Aku masih ingat jelas, di mana hari pertama Matrikulasi  (Materi awal sebelum MOS, hanya untuk kelas Akselerasi), aku belum mengenal siapa-siapa. Saat itu, Safina yang masih berumur 11 tahun dan belum terlalu percaya diri dalam bersosialisasi masih sangat pemalu dan pendiam -meskipun sifatku yang sekarang sangat berkebalikan dengan sifatku di masa itu. Untuk bisa mendapat kenalan saja aku masih harus dibantu oleh mamaku. Aku pun masih ingat, teman pertama yang kukenal di Aksel adalah Natalia, nama lengkapnya Natalia Devita Purnama dan ia dari SDK Santa Maria Pare. Perawakannya berisi dan kulitnya putih bersih, wajar saja mengingat dia ada darah China dari ibunya. Dia amat pendiam, ketika ditanya pun hanya menjawab singkat-singkat saja, hal itu pula sempat membuatku kikuk karena bingung harus bicara apa lagi.
Awalnya, aku masih merasa sangat asing dengan lingkungan yang baru. Alhamdulillahnya, lambat laun aku mulai bisa beradaptasi dengan suasana ini. Di sini muridnya jarang berbicara, itulah image awalku tentang kelas ini -ketika aku belum mengenal mereka yang asli tentunya. Masa awal SMP memang ceria dan menyenangkan. Apalagi punya teman-teman Akselerasi yang hebat seperti ini, masa SMPku pun terasa semakin berwarna. Awalnya kelas kami berisikan 19 orang, namun saat pertengahan semester 2 kelas VII -sekitar bulan Desember-  ada seorang teman kami yang pindah ke Surabaya. Namanya adalah Nabbil Gibran Winitaris Entyo (kami masih amat mengingatmu, Bran! How are you now?). Karena kepindahannya, kelasku pun jadi hanya memiliki 5 orang laki-laki. Meskipun hanya sekitar 6 bulan sekelas dengan Gibran, tapi alhamdulillah komunikasi di antara kami masih terjalin baik hingga saat ini. Dan sekarang, ia bersekolah di SMA Negeri 2 Surabaya kelas XI -aku sudah kelas XII karena dia pindah ke jurusan biasa di Surabaya, bukan akselerasi.
Gerimis kali ini juga mengingatkanku akan rutinitas kami. Dari kelas VII, khusus kelas kami tiap hari Senin hingga Kamis selalu ada bimbingan belajar tambahan sampai pukul 16.00 WIB. Awal tahun 2014, hujan mulai sering mengguyur daerah sekolahku. Hingga tiap pulang sekolah, hujan selalu menyambut kepulangan kami. Terkadang, bila belum dijemput dan ingin refresh pikiran dari pelajaran, kami sama-sama bermain hujan. Menikmati anugerah dari Allah yang tiada tara indahnya, terkadang bila kami beruntung, kami juga sekaligus bisa melihat pelangi yang indah di ufuk timur meskipun hanya sebentar.

Ingatan-ingatan ini muncul begitu saja di kepalaku, bagai video gabungan masa lalu yang sedang ingin kuputar ulang. Masa-masa polos dan penuh kebahagiaan. Selepas aku mengingatnya, aku pun harus menghadapi kenyataan saat ini bahwa aku sudah kelas XII SMA, dan sudah bisa menentukan masa depanku sendiri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

Unexpected Meeting-8

Aku suka mendung di langit, tapi tidak di matamu. ** Saat itu, Shefa sedang duduk di bangku koridor depan kelasnya sambil membaca novel sendirian. Namun, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Awalnya Shefa tak menghiraukan laki-laki itu, karena dia sedang fokus untuk membaca novel karangan penulis favoritnya yang baru saja rilis. Ia juga sama sekali tak menengok sekadar untuk tahu siapa laki-laki itu. Ia sangat tak peduli. "Shef? Shefaa?" laki-laki itu mengibaskan tangannya di depan wajahku. Shefa yang merasa terganggu pun akhirnya melirik sedikit ke arahnya. “Kamu? Ngapain di sini??” tanya Shefa histeris, ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki menyebalkan ini. “Aku kan murid baru di sini, jadinya belum banyak tahu tentang sekolah. Jadi yaa, aku duduk di sini aja dehh. Deket sih dari kelasku,” laki-laki itu menjawabnya sambil tersenyum manis sebenarnya, namun yang Shefa rasakan hanyalah senyum kemunafikan. Shefa tak membalas uca...

Hanya Percaya

Desing mesin kendaraan bermotor menyeruak di tengah kedamaian pagi. Membelah embun yang masih sibuk bercengkrama. Sang mentari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya. Seorang gadis berjilbab putih dengan tas ransel berwarna hitam serta tas jinjing berisi laptop yang juga berwarna hitam sedang mengarungi lautan embun pagi itu bersama ayahnya. Rok abu-abunya melambai-lambai tertiup angin, gadis itu segera merapatkan jaket tebal yang juga berwarna hitam untuk mengurangi rasa dingin yang menyergapnya tiba-tiba. Jalanan yang mereka lewati menuju tempat gadis itu menimba ilmu masih sama, tak ada yang berbeda. Namun entah kenapa pagi ini, perasaan gadis itu terasa berbeda ketika lewat sana. Seperti ada sesuatu yang hilang, meski ia tak tau apakah itu. Gadis itu menghela napas berat, ia merasa bosan dengan pola hidupnya yang hanya begini-begini saja. Ia ingin ada variasi dalam hidupnya, tapi tak tahu harus berbuat apa. Sekilas, ia melihat ke ufuk timur, di mana matahari mulai beraksi memp...