Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Muhammad Bara Anggara-Fatamorgana

Terkadang, kebahagiaan datang dari sesuatu yang awalnya kau benci.
Sincerely, Shefalia Anindita.
**
Cobaan apa lagi ini?
Mengapa mereka bisa tau?
Aku harus bagaimana?
Ya Allah,
Akankah semuanya berakhir seperti dulu?
Apa yang harus aku lakukan?
Shefalia POV.
Aku bingung, lelah, resah. Apakah yang kudengar tadi itu mimpi?
Mengapa mereka harus tau? Bagaimana caraku menghadapi semua ini?
Akankah semuanya berakhir sama saja seperti dulu? Aku lelah ya Allah. Aku tak kuat menahan ini semua sendirian. Biarlah saat ini aku dipandang aneh oleh orang-orang karena menangis sendirian di taman sekolah, apa peduli mereka? Tak ada!
Aku capek! Ekspektasi pindah sekolah yang membahagiakan pupus seketika karena perkataan Gisela tadi. Aku lelah menghadapi semua ini sendiri! Bantu aku ya Allah, apa yang harus kulakukan saat ini? Membiarkan berita itu menyebar dan dihindari orang lagi seperti dulu? Tidak. Cukupkan cobaan untukku ya Allah.
Kirimkan malaikatmu ya Allah, bantu aku.
**
"Hayy, kenapa menangis?" ada seorang laki-laki dengan rambut cepak dan seragam yang agak amburadul menghampiriku, mengapa ia peduli?
"Si..siapa kamu?"
Sampai tergagap aku dibuatnya, entah kenapa pancaran wajahnya membuat hatiku lebih tenang saat ini.
"Kenalin, namaku Bara," ohh jadi namanya Bara. Mengapa ia di sini? Aku diam saja tidak menanggapi perkataannya.
"Sudahlah jangan menangis, nanti dikira orang aku ngapa-ngapain kamu lagi, kan gak enak"
Dia mengatakannya dengan tersenyum lebar. Manis. Haruskah aku percaya?
"Kamu tuh gak tau apa-apa, jadi lebih baik pergilah. Gak usah ikut campur urusanku!" Ya Allah, apa yang kukatakan tadi? Itu refleks!
"Dih malah ngambek, kayak kecebong kelelep"
Ha? Apa? Kecebong kelelep? Ya Allah, aku tersenyum dibuatnya. Memangnya kecebong ada yang gak kelelep ya? Kok becandanya gajelas gitu sih.
"Bisakah kamu pergi dulu? Saat ini aku ingin sendirian," sepertinya refleksku mulai membaik. Aku tidak membentaknya! Hehe.
"Baiklah, yang penting ingat ya kalau namaku BARA"
Dia memberikan penekanan pada namanya, baiklah Bara, aku akan mengingatmu.
**
Authors POV.
"Eh Sel, itu Sepal kan?" tanya Angela saat mereka berdua akan pergi ke kantin setelah bel istirahat berbunyi beberapa saat yang lalu.
"Eh, iya ya, dia ngapain tuh? Kayak ngomong sendiri gitu gak sih?" jawab Gisela dengan muka bingung.
"Gatau lah, gila mungkin, udah ah yuk ke kantin, laperrr bettt," jawab Angela sambil menarik tangan Gisela lebih kencang.
Di waktu yang sama
"Eh Zah, itu Shefa kan?" tanya seorang gadis berjilbab syar’i pada sahabatnya yang bernama Zahra.
"Iya itu Shefa, jadi daritadi dia di situ ya dan bolos pelajaran," jawab Zahra dengan tatapan prihatin.
"Iya kali ya, aku kasihan deh sama Shefa, belum apa-apa udah dibully aja sama Gisela and the geng. Sepertinya dia frustasi," Rania pun ikut prihatin melihat keadaan Shefa yang murung saat ini.
"Nanti kita ajak ngobrol aja di kelas, sekarang ke kantin yuk, laperr nih," sahut Zahra sambil memegangi perutnya yang datar.
"Yaudah deh yukk,” jawab Rania dengan semangat.
**
Shefalia POV.
Sepertinya hari ini terasa lebih baik, aku tidak lagi memikirkan tentang perkataan Gisela dan gengnya yang terus saja menyindirku. Mungkin aku mulai dapat terbiasa dengan keadaan ini.
Tapi, hingga saat ini, masih ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya.
Siapakah Bara itu?
Kenapa dia peduli padaku?
Bahkan dia sampai memintaku untuk mengingatnya.
Apa tujuannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah da...

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah...