Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Karena tersenyum adalah
cara terbaik menutupi luka.
Menutupi,
bukan melupakan, apalagi menghapuskan.
Shefalia Anindita
**
Suasana SMA Harapan masih terlihat sunyi.
Yah walaupun tidak bisa dibilang masih pagi, karena jam dinding yang terpajang
rapi di luar pos satpam sudah menunjukkan pukul 06.40.
Seorang gadis berperawakan sedang dan
berjilbab panjang memasuki halaman sekolah dengan berjalan gontai sambil
menunduk. Barang bawaannya bisa dibilang cukup banyak dibandingkan dengan siswa
lain yang memasuki sekolah pagi itu. Dalam hatinya
gadis itu berkata "aku pasti bisa
melewati hari ini, semangat!'.
Seakan-akan
sekolah adalah tempat ujian terberat dalam hidupnya.
Di belakang gadis
tersebut, ada seorang gadis lain yang menyusul. Penampilannya benar- benar
berbeda dengan gadis sebelumnya. Jilbab berponi,
baju ngetat, gincu tebal di bibir. Bahkan di jilbabnya juga terselip sebuah bolpoin berwarna pink yang kontras sekali dengan warna jilbabnya. Ia
berjalan dengan santai dan terlihat agak sombong. Sekilas, ia terlihat seperti
murid nakal, walaupun lumayan pintar.
Gadis itu adalah
Gisela.
Dan gadis yang sebelumnya tadi adalah Shefalia.
Gisela memperhatikan Shefa dari belakang. Tatapannya terlihat meremehkan, lalu
tiba-tiba ia tersenyum. Seperti mendapat suatu ide cemerlang.
Tiba-tiba Gisela berlari ke arah Shefa dan dengan sengaja ia menabraknya dari arah samping.
Padahal saat itu di samping Shefa ada got yang
berair karena semalam hujan deras.
"Upss, sorry ya
Shef, gak sengaja!" ujar Gisel sambil memasang wajah
polos.
"Umm, iya nggak apa-apa Sel,"
padahal rok dan sepatunya waktu itu lumayan basah karena air got itu. Tentu
baunya pun kurang sedap.
"Sini deh aku bantuin,
kasihann," Gisel pun mengulurkan tangannya.
Dengan senang hati, Shefa menyambut uluran tangan Gisel.
Tapi,
BRUK!
Nyatanya Gisel malah
mendorongnya lebih dalam ke got berbau itu.
"Eh, maaf! Tanganku licin deh
kayaknya haha," ucap Gisel sambil tersenyum sinis lalu melenggang pergi
dengan angkuhnya.
Kali ini Shefa jatuh dengan posisi yang lebih parah dari
sebelumnya, karena Gisel sama sekali tak berniat membantunya, melainkan mendorongnya
untuk masuk got lebih dalam. Shefa hanya terdiam
menatap kepergian Gisel. Ia pun perlahan bangun. Sebenarnya ia tidak
mempermasalahkan tentang malu, karena selama ini dia sudah cukup sering bermuka
tebal menghadapi hujatan banyak orang.
Tetapi yang membuatnya
bingung, bagian bawah tasnya terkena air. Ia takut buku-bukunya basah.
**
Akankah kudapat
bahagiaku?
Shefalia POV.
Di sini nyaman juga, aku senang berada di
gazebo ini. Tempatnya tenang dan rindang. Terdengar pula gemericik air mancur
yang berada tepat di samping gazebo. Sungguh nyaman.
Di tempat ini, aku duduk sendirian
sepulang sekolah. Tak lupa novel favoritku pun tak lepas dari genggaman
tanganku. Kurasa ini adalah tempat yang tepat untukku
menenangkan diri.
Kata demi kata
dari novel First Girl karya
Luna Torashyngu pun memenuhi kepalaku. Aku terbuai dengan kata kata kak Luna
yang seakan bisa membuatku merasakan menjadi tokoh utamanya, sang putri
presiden.
Terlampau asik aku mendalami cerita ini
hingga aku sama sekali tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarku. Entah
itu Gisela dan gengnya yang lewat
sambil menyindirku, ataupun suara motor anak berandalan yang kejar-kejaran
membuat bising di luar sekolah.
Aku sedang tidak ingin merusak mood ku yang sudah lebih baik ini
dengan menanggapi ocehan-ocehan Gisel.
"EH! INI
LAGI DI-Loh, Bara?" tiba-tiba Bara sudah duduk di sampingku dan sekarang
ia mengamankan novelku di balik punggungnya.
"Pacaran
ya?" Bara bertanya dengan memasang muka jenaka yang
menyebalkan.
"Pacaran?"
aku bingung. Memangnya dia tidak melihat apa yang sedang kulakukan?
Bisa-bisanya ia berkata begitu.
"Daritadi
ngeliatin buku terus, kalau bukan pacaran, apa coba namanya? Sampek aku
dikacang mulu nih daritadi," jawabnya dengan muka cemberut.
Nyebelin!
Tapi
menggemaskan.
"Buku itu
asik, gak kayak kamu!" jawabku singkat. Pura-pura tak peduli.
"Lah,
hubungannya sama aku apa coba?" kali ini wajahnya cengo. Lucu sekali.
"Banyak lah
hubungannya," jawabku pelan sambil tersenyum. Ini kali keduanya ia
membuatku tersenyum.
"Ciyee
senyum-senyum ciyee," kali ini wajahnya berubah menyebalkan lagi.
Sebenarnya dia punya berapa wajah sih? Bisa-bisanya berubah ekspresi sebegitu
cepatnya.
"Ih enggak
ya aku gak senyum, huu! Udah ah, aku mau pacaran sama buku lagi!" aku
malu! Sungguh! Kenapa dia selalu bisa membuatku salah tingkah begini?
Tapi, dia kok gak
pergi-pergi ya?
Ya memang sih aku
gak nyuruh dia pergi. Tapi, apa yang
akan dia lakukan di sini?
"Mmm,
Bar?" kurasa aku ingin menanyakan sesuatu.
"Iya? Ada
apa Shef?" jawabnya dengan santai. Alisnya berkerut
sebelah. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan gayanya yang cepat berganti
ekspresi.
Aku menyukainya?
Tentu tidak, aku tidak segampang itu.
"Kok kamu
mau sih temenan sama aku? Emangnya kamu gak punya temen lain ya?" entah
apa yang mendorongku untuk mengatakan seperti ini.
Ia terdiam
sebentar. Apakah aku menyinggungnya?
"Tentu saja
aku punya, emangnya salah ya kalau aku temenan sama kamu?" dia akhirnya
menjawab dengan santai. Syukurlah ia tak tersinggung.
"Bukan
begitu, hanya saja terlihat aneh, kamu mau berteman denganku di saat orang lain
menghindariku," apakah ini penting untuk kukatakan? Ah yasudahlah,
lagipula sudah terlanjur.
"Sudahlah gak usah dipikirkan, lebih
baik kamu memikirkan hal yang lebih penting dari itu. Tentang prestasimu
misalnya," jawabnya dengan enteng sambil tersenyum kecil.
Ya Allah, adem ngeliatnya.
"Iya juga sihh, daridulu aku ingin
menyelesaikan novelku, tetapi selalu saja aku kehabisan ide untuk menulis.
Kira-kira kamu punya ide yang bisa disalurkan ke ceritaku gak?" mungkin
aku perlu sharing dengan
seseorang tentang novel yang ingin kubuat. Apakah Bara orang yang tepat untukku sharing tentang novel? Semoga saja.
"Umm, memang ceritamu gimana?"
dia menanggapi!
Aku pun menceritakan secara garis besar
cerita yang sedang kubuat, dia juga mendengarkanku dengan serius. Aku senang
dia mau menanggapi ceritaku, dia juga memberi saran dan motivasi untukku. Dia
benar-benar orang yang baik.
Di
waktu yang hampir sama
Ada 2 orang gadis yang baru saja keluar
dari sebuah ruang kelas. Keduanya berjilbab dan terlihat sedang membahas tugas.
Sepertinya mereka baru selesai berkelompok.
"Eh, Dri! Itu Shefa si anak baru gak sih?" tanya gadis berjilbab
yang memakai tas berwarna tosca.
"Emang sekolah kita nerima murid
baru ya Nat?" jawab gadis satunya yang dipanggil 'Dri' tadi. Dia terlihat
tomboy, pakaiannya pun terlihat kusut, seperti tidak pernah disetrika.
"Ih dasar kudet lu! Itu tuh yang
itu," jawab gadis yang dipanggil 'Nat' tadi. Sebenarnya namanya adalah
Nata.
"Emang Shefa itu
orangnya yang mana sih?"
"Yee dasar! Kirain tau! Itu tuh yang
lagi duduk di gazebo," jawab Nata.
"Ohh yang itu. Eh, tapi kok dia
kayak lagi ngobrol sendiri ya?" tanya gadis itu.
"Eh, iya juga ya. Nggak tau juga
sih,"
"Samperin aja yuk," ajak si
gadis tomboy sambil menarik tangan Nata.
"Eh eh jangan, kali aja dia lagi
latihan drama, kan sekarang kita materinya drama," jawab Nata.
"Iya juga sih, yaudah pulang aja yuk
capek," gadis itu memang labil.
"Yuk deh," jawab Nata.
Mereka berdua pun berjalan beriringan
menuju luar sekolah.
Komentar
Posting Komentar