Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Sebenarnya, senja kali ini nampak biasa saja. Rintik
hujan yang sudah berhenti beberapa menit yang lalu masih membekas di bingkai
jendela. Namun, rasa fresh dan bebas
yang menjadikannya berbeda. Ditemani dengan secangkir susu cokelat panas dan
sebuah novel keluaran 2016 karya Tere Liye, ku menikmati weekend di istana tercinta. Sekilas, ku melihat ke arah jendela,
seperti ada yang memperhatikanku dari luar. Ternyata benar, ada seorang remaja laki-laki
yang sedang melihat ke arahku. Postur tubuhnya tinggi, hidungnya mancung, dan garis
wajahnya tegas. “Manis,” gumamku setelah mengamatinya dari atas hingga bawah. Rambutnya
terlihat basah, mungkin terkena air hujan. Aku merasa asing akan wajahnya,
mungkinkah ia anak dari Pak Hernoyo? Sepertinya iya, karena setelah beberapa
menit kemudian, laki-laki itu masuk ke rumah besar tepat di depan rumahku.
Rumah itu dulunya dimiliki oleh Bu Asri, namun karena
sekarang suaminya dinas di luar Surabaya, maka Bu Asri pun menjualnya. Pak
Hernoyo lah yang membeli rumah tersebut, mereka baru pindah sekitar seminggu
yang lalu. Aku juga belum terlalu tahu tentang keluarga mereka, dan aku baru
tahu bahwa Pak Hernoyo punya anak laki-laki semanis itu.
Komentar
Posting Komentar