Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Mentari pagi ini nampak berbeda, terselip rasa manis
di dalamnya.
Shefalia Anindita.
**
Shefa masih termenung mengingat masa lalu ketika
Tante Sofi menyuruhnya sarapan. Dengan sedikit enggan, Shefa pun akhirnya beranjak
ke lantai bawah rumah minimalis itu. Baru saja ia melangkah ke anak tangga yang
pertama, sudah tercium bau lezat masakan tantenya. Mau tidak mau hidung Shefa
pun terjaga juga ketika mengenali bahwa bau tersebut adalah aroma makanan
favoritnya, nasi goreng.
Sesampainya di ruang makan yang ruangannya jadi satu
dengan dapur, sudah tersaji sepiring nasi goreng lengkap dengan sosis kesukaan
Shefa. Tanpa banyak kata Shefa pun langsung melahap nasi gorengnya dengan
rakus, seperti lama tak diberi makan. Tante Sofi dan Om Surya hanya bisa
geleng-geleng kepala melihat kelakuan Shefa, mereka sudah cukup bahagia melihat
Shefa bisa beradaptasi di rumah ini dan terlihat lebih ceria daripada
sebelumnya.
Lima menit berlalu dan nasi goreng sosis itu pun
sudah tandas. Kini Shefa sudah beranjak lagi menuju kamarnya. Memang mood nya sudah mulai membaik, namun
perasaan kacau di hatinya masih tetap menghantuinya. Sesampainya di balkon,
Shefa berusaha menenangkan pikirannya lagi, ia mulai mengamati taman kecil di
halaman rumah tantenya yang dipenuhi oleh bunga-bunga cantik nan bersih. Ada
pula air mancur kecil yang menambah kesan asri di taman yang ukurannya tak
seberapa besar itu. Saat masih asyik melihat-lihat, tiba-tiba ada seseorang
yang lumayan ia kenal melambai-lambai padanya dari luar gerbang rumah itu.
Shefa sedikit menyipitkan mata untuk memastikan apakah benar itu adalah orang
yang ia kenal.
“Hey, kau melihatku seperti ditemui hantu saja.
Apakah aku begitu tampannya hingga kau terpesona begitu?” dia membuka
percakapan terlebih dahulu, bahkan dia teriak dari luar gerbang, dasar gak
punya rasa malu.
Shefa tersenyum kecut menanggapinya. “Benar, itu adalah Bara,” batinnya.
“Hey ratu cengeng! Kemarilah,” panggil Bara sambil cengengesan.
“Untuk apa? Kau saja yang ke sini,” jawab Shefa
sambil pura-pura tidak melihat.
“Ayo kita bersenang-senang, kau ingin jalan-jalan kan
di waktu weekend?” tanya Bara sambil
tersenyum, manis sekali. Hingga Shefa terpana dibuatnya. Ia juga amat kaget,
dari mana Bara tahu bahwa ia ingin jalan-jalan?
“Aku tau hal ini karena keinginanmu itu benar-benar
tergambar di wajahmu, lihatlah di kaca dan sadarilah kalau wajahmu ini seperti
orang yang tak pernah jalan-jalan Shefa!” Bara tertawa lagi, Shefa merengut
sebal karenanya. Namun tak bisa ia pungkiri bahwa jauh di lubuk hatinya, ia
senang ada orang yang mengerti dia seperti saat ini.
Komentar
Posting Komentar