Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Aku suka mendung
di langit, tapi tidak di matamu.
**
Saat itu, Shefa sedang duduk di bangku koridor depan
kelasnya sambil membaca novel sendirian. Namun, tiba-tiba ada seorang laki-laki
yang duduk di sampingnya. Awalnya Shefa tak menghiraukan laki-laki itu, karena
dia sedang fokus untuk membaca novel karangan penulis favoritnya yang baru saja
rilis. Ia juga sama sekali tak menengok sekadar untuk tahu siapa laki-laki itu.
Ia sangat tak peduli.
"Shef?
Shefaa?" laki-laki itu mengibaskan tangannya di depan
wajahku. Shefa yang merasa terganggu pun akhirnya melirik
sedikit ke arahnya.
“Kamu? Ngapain di sini??” tanya Shefa histeris, ia tak
menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki menyebalkan ini.
“Aku kan murid baru di sini, jadinya belum banyak tahu
tentang sekolah. Jadi yaa, aku duduk di sini aja dehh. Deket sih dari kelasku,”
laki-laki itu menjawabnya sambil tersenyum manis sebenarnya, namun yang Shefa
rasakan hanyalah senyum kemunafikan.
Shefa tak membalas ucapan laki-laki itu, ia hanya
melirik sebentar lalu menekuni novelnya lagi. Berharap dengan dicuekin seperti
ini, laki-laki itu akan pergi dengan sendirinya karena bosan.
“Shefaa??” laki-laki itu lagi-lagi memanggil namanya.
Dengan kesal, Shefa akhirnya melirik tajam.
"Apa?"
jawab Shefa ketus. Laki-laki
itu benar-benar mengganggu kedamaiannya saat membaca novel di waktu istirahat, jadi ia merasa kalau bukan salahnya bila sikapnya
jutek.
“Kok diam aja? Kamu sakit ya?” wajahnya terlihat
khawatir, entah cuman fake atau tidak.
Shefa mengernyit sedikit.
“Liat sendiri bisa kan? Aku tuh gak sakit!” jawab
Shefa amat sebal. Ia sempat berpikir, sebenarnya laki-laki ini tuh datangnya
dari planet mana sih? Benar-benar menyebalkan dan tak tahu diri.
“Iya iya,
gak usah sewot gitu deh,” jawab laki-laki itu sambil menghempaskan tubuhnya di sandaran
bangku.
“Ngapain sih di sini mulu? Ke tempat lain gak bisa ya?
Ganggu ketenanganku aja!” ucap Shefa geram. Sungguh, ia merasa amat kesal,
kenapa pula di waktu luangnya saat ini laki-laki itu harus muncul dan
mengganggu kedamaiannya? Shefa berharap ada malaikat yang tiba-tiba datang
untuk menyelamatkannya dari situasi yang ia benci ini.
“Yaa kan aku belum kenal sekolah ini, takutnya nyasar
kan malah bahaya. By the way, temenin
keliling sekolah yuk?” laki-laki itu mengajaknya sambil tersenyum manis. Seketika
aura sepanjang koridor itu terasa horror karena para perempuan di sana melirik
sinis ke arah Shefa yang sedang duduk bersama laki-laki itu.
Shefa mengernyit tak suka, kenapa pula harus dirinya
yang menemani laki-laki ini keliling sekolah? Macam kurang kerjaan saja. Dan
juga Shefa tak mau mengorbankan waktu bacanya hanya untuk menemani laki-laki
ini, karena dia bukanlah siapa-siapa. Nothing!
"SEMPAKKKKK!" derap langkah kaki yang sedang berlari dan suara cempreng
yang khas itu mendekat ke arahnya dari ujung koridor. Biasanya, Shefa akan
sangat malu apabila kawannya ini sedang kumat begini. Namun kali ini, ia sangat
bersyukur punya sahabat yang gak tau malu kayak Revi. Seenggaknya, Shefa bisa
menghindar dari ajakan laki-laki gak tahu diri ini.
“Habis dari mana aja sih Rev? Tadi diapain aja sama
Pak Banu?” tanya Shefa mengawali pembicaraannya dengan Revi, berharap laki-laki
ini segera pergi karena merasa diabaikan. Namun sayang, kali ini dewi fortuna
tak berpihak pada Shefa.
“Eh, Radit? Kok bisa di sini Dit?” Revi tak
menghiraukan Shefa, ia malah mengajak ngobrol Radit yang sedang stay cool dengan muka innocentnya yang menurut Shefa amat menyebalkan.
Lebih menyebalkan lagi ya si Revi ini. Teriaknya sekeras toa dari ujung koridor
buat neriakin namanya, namun pas udah dekat, dia malah ngajak ngobrol si curut
mesum ini.
“Eh iya Rev, aku sih pindah ke sekolah ini. Kebetulan
banget ya bisa satu sekolah sama kamu?” ucap Radit namun melirik ke Shefa, mungkin
maksud Radit menyindirnya. Namun yang disindir sudah asyik sendiri dengan novel
tebal karya Tere Liye yang sejak tadi digenggamnya.
“Iya nih Dit, by
the way kamu kelas mana Dit? Kok bisa nyasar sampek ke sini,” ucap Revi
antusias. Di antara mereka bertiga, yang paling semangat untuk mengobrol
hanyalah Revi.
“Kelasku sih sebelah, XI-MIPA 2. Kalian kelas XI-MIPA
1 kan?” jawab Radit dengan santai. Seberkas senyum kecil tersungging di sudut
bibirnya.
Shefa tiba-tiba teringat sesuatu yang sangat penting,
dan dia harus mengatakannya pada Revi sekarang!
“Rev, kita belum shalat. Ayo shalat dulu, ‘ngobrolnya’
dilanjut nanti aja,” ucap Shefa sambil berdiri dan menutup novelnya. Tanpa
menantikan jawaban dari Revi, ia langsung melenggang pergi masuk ke kelas untuk
meletakkan novel sekaligus mengambil mukena dari lokernya.
Saat Shefa akan meninggalkan kelas dengan teman
perempuannya yang lain, Revi baru akan menyusul Shefa dengan tergesa-gesa dan
memohon untuk ditunggu. Benar-benar deh anak itu, sekali ketemu yang agak
bening aja pasti susah diajak ngomong sama temen sendiri.
“Buruan! Kurang 10 menit istirahatnya habis nih! Mana
masjid jauh banget lagi dari sini,” ucap Sheila, teman sekelas Shefa.
“Iya iya bawel! Udah nih, yuk!” ajak Revi setelah
mengubek-ubek lokernya yang tak berbentuk karena tak pernah ditata olehnya. “By the way, lo kok langsung pergi aja
gitu sih Shef? Kan Radit tadi nungguin lo,”
ucap Revi sambil membenahi seragamnya yang agak kusut.
“GAK PEDULI!” ucap Shefa keras. Lalu ia langsung
menyeret Sheila untuk segera pergi ke masjid, ia tak ingin membahas hal yang
tak penting menurutnya.
Savina... Enak banget bacanya. Kamu benar2 berbakat jadi novelis. Teruskan!
BalasHapusSetuju...
HapusAamiin kak, terima kasih banyak atas apresiasinya ^^ Jangan lupa mampir lagi yaa..^^
Hapus