Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Shelin masih terdiam di bangkunya. Pandangannya tak
fokus, sementara di genggaman tangan kanannya masih ada handphone dengan case tosca yang masih menyala. Ia baru saja
melihat sebuah snapgram dan gara-gara
itu pula ia merasa dadanya agak sesak. Di sana terpampang nyata seorang
laki-laki dengan rambut yang agak acak-acakan namun masih terlihat tampan
sedang berdiri di samping seorang perempuan berkacamata. Perempuan itu biasa
saja sih, tak cantik juga tak begitu manis. Kacamata tebal yang bertengger di
hidungnya membuatnya terkesan nerd.
Dan laki-laki itu, masih sama manisnya dengan yang dulu.
Sekali lagi, Shelin menghela napas panjang. Usahanya
untuk menenangkan diri. Gara-gara foto itu pula, ia jadi teringat masa lalunya.
Masa di mana ia pernah bersama dengan lelaki itu, meski jangka waktunya cukup
singkat. Sekelebat, ia melihat kepingan-kepingan masa lalunya kala mereka masih
duduk di bangku SMP.
***
Shelin sedang berjalan sendirian di koridor,
langkahnya gontai dan pandangannya tertuju pada setiap inci lantai ubin yang
dilewatinya. Sekolah masih sepi dan itu hal yang wajar, karena sekarang masih
pukul 06.00 WIB. Ia masih saja menunduk ketika seorang laki-laki berambut agak
acak-acakan menyamai langkahnya.
“Ngegalau ya Lin?”
tanya laki-laki itu sambil tersenyum.
“Loh, tumben Dhan
kamu datang jam segini?” tanya Shelin kaget. Biasanya, lelaki ini baru sampai
di sekolah ketika bel 5 menit sebelum pelajaran dimulai berbunyi. Namun berbeda
dengan hari ini.
“Biarin dong,
pingin jalan bareng ke kelas sama kamu sesekali ehe,” jawabnya singkat sambil
tersenyum manis dan mengusap rambutnya sendiri. Mungkin maksudnya agar lebih
rapi, namun yang terlihat rambutnya masih tetap saja acak-acakan. Meski begitu,
laki-laki ini tetap tampan di mata Shelin.
Sejenak, ia
terpana melihat laki-laki yang diam-diam ia sukai sejak dulu berada begitu
dekat dengannya saat ini. Sungguh di luar dugaannya.
“Iya aku tau kalo
aku ini ganteng, tapi kalo ngeliatin gausah segitunya kali neng,” ucap
laki-laki itu sambil mencolek bahu Shelin dan meringis.
Seketika wajah
Shelin merah padam karena ketahuan melihatnya dengan terkagum-kagum. Tapi, ia
tetap berusaha untuk mengelak.
“Ah enggak,
gausah kepedean gitu deh,” jawab Shelin. Namun dengan wajah yang memerah.
“Gausah boong
gitu deh, kayak aku gak kenal kamu aja Lin,” jawab laki-laki itu sambil
mengusap rambutnya lagi.
“Emang kamu siapa
ya? Dih, aku gak kenal kamu tauk. Hus-hus sana pergi,” sahut Shelin sambil
berlari kecil menyusuri koridor yang sudah dekat dengan kelas tercintanya.
Laki-laki itu
mengejarnya hingga sampai di depan kelas Shelin, hanya untuk mencubit pipinya
keras-keras lalu meninggalkannya begitu saja sambil tersenyum puas. Tak lupa
pula, ia mengusap rambutnya lagi.
***
“Shel? Lu ngapain
bengong kek sapi ompong gitu dari tadi?” tanya Nadia, sahabat karib Shelin.
“Hah?” tampaknya
Shelin masih belum ngeh omongannya si
Nadia.
“Lu ngapain
bengong begitu? Muka lo gak terkondisikan tauk,” jawab Nadia sambil
mengotak-atik gadgetnya.
“Hmm enggak,”
Shelin segera melihat handphonenya,
lalu ia langsung menghembuskan napas lega karena layarnya sudah mati otomatis.
Oleh karena itu, Nadia gak akan tahu mengapa ia sempat bengong barusan.
“Eh, Lin. Si
Dhani beneran sama Hanne ini?” tanya Nadia sambil menunjukkan layar handphonenya yang menampakkan snapgram dari perempuan yang bernama
Hanne itu.
Deg! Rasa-rasanya
jantung Shelin kembali sesak. Namun sekuat tenaga ia menahannya.
“Mana kutau Nad,
ah udahlah gausah dipikirin. Bukan siapa-siapaku juga,” jawab Shelin berusaha
bersikap senormal mungkin.
Nadia mengernyit sedikit, ia tahu kalau Shelin sedang
berbohong padanya. Namun ia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu saja, biarlah
Shelin bergelut dengan kemelut dunianya sendiri dulu.
“Eh Lin, kantin
yuk. Udah bel tuh,” ajak Nadia sambil memasukkan beberapa lembar uang ke saku
kemejanya.
“Yuk deh, laper
nih,” jawab Shelin singkat sambil ngeloyor duluan keluar kelas.
Kelas Shelin berada di lantai 2 pojok depan. Dan
sekarang, saat ia duduk di bangku SMA pun, ia masih dipertemukan dengan
mantannya itu. Laki-laki dengan rambut acak-acakan yang selalu mengusap
rambutnya agar rapi meski kesannya tetap sama. Kelas Dhani berada di bawah,
pojok belakang. Sangat bertolak belakang dengan kelas Shelin.
Saat itu, Nadia mengajak ke kamar mandi yang berada
di belakang aula. Kebetulan, kamar mandi itu sangat dekat dengan kelas Dhani. Hampir
melewati kelasnya, Shelin merasa harap-harap cemas. Ia berharap agar tak
bertemu dengan Hanne yang sedang bersama dengan laki-laki pujaan hatinya itu.
Namun nyatanya, Tuhan berkata lain. Saat ia lewat, sangat jelas di matanya
bahwa Dhani sedang bercanda dengan Hanne di depan kelasnya. Shelin hanya bisa
menunduk kuat, tak berani menengok ataupun melirik.
“Hallo Shelin,”
sapa suara berat yang khas. Shelin sangat mengenalinya. Tentu saja ini adalah
suara laki-laki itu, lelaki berambut acak-acakan yang tampan.
Takut-takut, Shelin pun akhirnya menengok juga, meski
hanya sedikit. Ia berusaha tersenyum senormal mungkin pada laki-laki itu. Meski
kehadiran senyumnya diiringi dengan tatapan tak suka yang dilontarkan
terang-terangan oleh perempuan yang sedang duduk di sebelah laki-laki itu.
Sekali lagi, laki-laki itu tersenyum manis pada Shelin, lengkap dengan gaya
khasnya yang lucu. Mengusap rambutnya meski hasilnya tetap sama.
Komentar
Posting Komentar