Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Aku hanyalah penikmat senyummu. Bukan
pemilik, apalagi penyebab.
**
Sesampainya di masjid, Shefa langsung buru-buru
melepas sepatu beserta kaus kakinya dan beranjak wudhu. Langkah kakinya tergesa
dikarenakan sebentar lagi waktu istirahat akan usai. Sesekali, ia memijit
pelipis kanannya untuk mengurangi rasa sakit, namun hal itu tak berpengaruh
banyak. Kepalanya masih saja pusing dan tubuhnya terasa lemas, namun ia
berusaha untuk tak menganggap penting rasa itu.
Tepat saat Shefa salam untuk mengakhiri shalatnya,
bel masuk berbunyi pertanda jam pelajaran selanjutnya telah dimulai. Namun kali
ini Shefa tak perlu cepat-cepat memburu waktu seperti tadi, karena baru saja
ketua kelasnya memberi kabar bahwa Bu Elia ada workshop di luar kota dan mereka diberi tugas membuat essay. Sheila dan Revi berjalan di
depannya sambil bercakap-cakap ringan tentang Radit, sementara Shefa sama
sekali tak tertarik akan topik pembicaraan itu. Radit yang berstatus sebagai
murid baru dengan paras tampan menurut perempuan sebayanya itu memang menarik
hati banyak kawannya, namun pengecualian bagi Shefa.
Shefa berjalan sambil menunduk, imajinasi liar akan
sesuatu tiba-tiba muncul di kepalanya. Namun, ia langsung menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. Shefa tak ingin imajinasi itu membuatnya menjadi perempuan
yang penuh harapan. Ia tak siap untuk itu.
“Shef, Shefa? Ngapain?” tanya seseorang sambil
memegang dahi Shefa. Suaranya terdengar berat, yang jelas suara itu bukan dari
Sheila ataupun Revi.
“Astagfirullah! Kamu lagi? Ngapain sih kamu harus
muncul lagi hari ini?” jawab Shefa frustasi. Kepalanya yang sejak tadi terasa pusing
jadi makin memburuk gara-gara kehadiran laki-laki ini.
“Apa salahnya sih? Kan kita satu sekolah, tetanggaan
pula kelasnya. Salah ya kalau aku muncul di hadapanmu?” laki-laki itu seperti
tak memperhatikan ekspresi Shefa yang sudah naik darah dari tadi. Ia menjawab
segala cercaan Shefa dengan tenang dan senyuman.
“SALAH BANGET DITYA!” teriak Shefa dengan mata yang
berkilat. Sekilas, ia tersentak karena memanggilnya dengan nama Ditya. Namun,
Shefa langsung dapat menutupi rasa kagetnya dengan segera berlari dari hadapan
Radit.
“Apa? Ditya? Oh
tidak, aku benci panggilan itu,” batin Radit dengan muka datar.
Pertengkaran antara Radit dan Shefa barusan memang sebelas dua belas dengan
adegan yang ada di drama Korea, tak lupa dengan penonton gratis yaitu Sheila
dan Revi yang daritadi hanya saling berpandangan dengan wajah bingung.
“Emm, Dit? Maaf soal..,” Revi berusaha mewakili Shefa
untuk meminta maaf pada Radit.
“Gak masalah Rev, duluan ya,” potong Radit cepat
sambil menyunggingkan senyum simpul yang amat tipis. Moodnya berubah seketika saat mendengar Shefa memanggilnya dengan
nama ‘Ditya’. Revi hanya menanggapi dengan senyum yang terpaksa, ia merasa ada
sesuatu yang disembunyikan oleh salah satu dari mereka. Sesuatu yang amat dalam
sepertinya, entah itu Radit ataupun Shefa sendiri.
“YA TUHAN REV MIMPI APA GUE BISA LIAT SENYUMNYA RADIT
SEDEKET INI!!” teriak Sheila tiba-tiba. Revi yang masih kebingungan dengan
sikap Shefa dan Radit akhirnya terganggu juga karena ada Sheila yang heboh
sendiri di sana. Mau tak mau, ia harus menanggapi ucapan Sheila dulu agar tak
terlihat mencurigakan.
“Shef, lo
hutang banyak cerita ke gue,” batin Revi sambil memaksakan senyumnya menanggapi
celotehan Sheila.
**
Bel tanda pelajaran telah usai yang sudah
ditunggu-tunggu banyak kalangan akhirnya berbunyi juga. Desahan napas lega
terdengar di berbagai sudut karena akhirnya terbebas juga dari ulangan geografi
dadakan yang diberikan oleh Pak Ahmad. Arfa, seorang laki-laki dengan rambut
yang selalu dilapisi pomade itu merenggangkan otot tangannya. Lelah juga
setelah bergerilya lirik sana-sini untuk mendapatkan jawaban.
Pak Ahmad kali ini memang sangat menyebalkan menurut
mereka. Sudah jam pelajarannya ada di dua jam terakhir, jarang masuk, pakai
ulangan dadakan segala lagi. Uraian pula! Bayangkan deh, orang-orang seperti
Arfa yang tak terlalu peduli akan lebar inti bumi begini kan jadi gak bisa
jawab Pak! Gimana mau jawab, gak ada satu kata pun yang terlintas di pikiran
mereka mengenai pelajaran geografi. Apalagi di awal pelajaran Pak Ahmad sudah
pernah bilang bahwa ketika mengerjakan harus minimal 4 halaman folio penuh,
bila tidak maka beliau tidak akan menilai. Nah loh, cobaan apalagi ini Ya Allah.
Alhasil, Arfa dan kawan-kawan nyontek bersama. Mereka
meminta jawaban ke teman-teman perempuannya yang rajin untuk awalan dari
jawaban mereka, selepas itu jadilah ajang mengarang bersama. Karena Pak Ahmad
selalu melihat paragraf awal dan panjang jawaban, selain itu tak pernah
diperhatikan oleh beliau. Arfa yang paling dahulu mengumpulkan jawabannya,
bulir-bulir keringat keluar dari pelipis serta dahinya pertanda ia baru saja
menyelesaikan sesuatu yang teramat berat baginya.
Sekilas, Pak Ahmad membaca kertas jawaban Arfa, lalu
beliau mengangguk-angguk. Sementara Arfa masih mengembalikan alat-alat tulis
yang ia pinjam untuk ulangan barusan.
“Bagus Arfa, tumben jawaban kamu masuk akal seperti
ini,” ucap Pak Ahmad sambil tersenyum bangga. Semacam melihat oase di padang
pasir, namun nyatanya hanyalah fatamorgana.
“Terima kasih Pak, kerja keras saya semalam itu Pak,”
jawab Arfa bohong. Sementara para siswi yang tadi saat ulangan berbaik hati
memberikan jawaban meliriknya dengan tajam, gondok sekali melihat tampang Arfa
yang tak tahu terima kasih seperti itu.
“Baik Arfa, kamu boleh pulang terlebih dahulu,” ucap
Pak Ahmad masih tersenyum bangga. Arfa yang tak ingin merusak mood gurunya saat itu pun dengan sopan
melangkah ke Pak Ahmad untuk mencium tangannya. Berbagai gerutuan terdengar
dari berbagai sudut sementara Arfa dengan santainya melenggang keluar kelas.
BRUK!
“HEI!”
Komentar
Posting Komentar