Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Saya sering membaca berbagai buku dengan penulis yang berbeda-beda. Pernah suatu saat saya membaca buku karangan Rudiyant yang berjudul “Deathcase 666”, dalam buku ini alur ceritanya terkesan sadis dan ‘showing’ atau penuturan mengenai hal ini sangat banyak, Sebenarnya hal ini baik, karena dengan begitu maka pembaca dapat lebih memahami dan mendalami isi cerita tersebut. Namun yang jadi masalah ialah, apakah semua pembaca sudah dapat membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk? Kalau yang membaca orang dewasa sih, tidak masalah. Namun, bila yang membaca buku tersebut adalah remaja awal yang masih polos dan lugu, apakah dampaknya akan baik?
Saya mengakui bahwa secara keseluruhan novel ini memang bagus, karena imajinasi sang penulis yang luar biasa hebat. Sering pula saya tertawa-tawa sendiri saat membaca buku ini dikarenakan kisah sang detektif konyol yang memang benar-benar unik dan hingga sekarang kelakuan mereka masih membekas di otak saya. Menurut saya, inilah kelebihan dari novel tersebut. Dengan adanya detektif konyol yang tingkahnya unik namun analisisnya sangat cerdas ini, dapat membuat para pembaca agar lebih berpikir secara logika lagi dan tentunya meningkatkan fungsi kerja otak masing-masing orang.
Namun, ada baiknya bila pihak editor maupun penerbit bisa menyaring kata-kata yang ada di dalamnya, atau membatasi usia minimal agar boleh membaca novel ini. Setidaknya, novel ini bisa dibaca oleh remaja umur 17 tahun ke atas dan dewasa. Karena saya rasa di usia segitu seseorang sudah mencapai tingkat kematangan yang lebih dalam mengambil suatu keputusan, sehingga kita dapat meminimalisir terjadinya hal-hal buruk yang tak kita inginkan. Selain itu, ada baiknya pula bagi para orang tua yang memiliki putra-putri berusia remaja untuk selektif dalam hal bacaan anaknya. Karena apa yang mereka baca akan berefek pada sifat dan perilaku mereka. Bukannya di sini saya mau menjatuhkan Kak Rudiyant sih, hanya sebagai reminder saja.
Mantap, sebuah bentuk kepekaan dan kepedulian....
BalasHapusHehe, sebenarnya ini sih buat tugas pak. Sekalian aja di post hihi ^^
Hapus