Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Desing
mesin kendaraan bermotor menyeruak di tengah kedamaian pagi. Membelah embun yang
masih sibuk bercengkrama. Sang mentari pun masih malu-malu menampakkan
sinarnya. Seorang gadis berjilbab putih dengan tas ransel berwarna hitam serta
tas jinjing berisi laptop yang juga berwarna hitam sedang mengarungi lautan
embun pagi itu bersama ayahnya. Rok abu-abunya melambai-lambai tertiup angin, gadis
itu segera merapatkan jaket tebal yang juga berwarna hitam untuk mengurangi
rasa dingin yang menyergapnya tiba-tiba. Jalanan yang mereka lewati menuju
tempat gadis itu menimba ilmu masih sama, tak ada yang berbeda. Namun entah
kenapa pagi ini, perasaan gadis itu terasa berbeda ketika lewat sana. Seperti
ada sesuatu yang hilang, meski ia tak tau apakah itu.
Gadis
itu menghela napas berat, ia merasa bosan dengan pola hidupnya yang hanya
begini-begini saja. Ia ingin ada variasi dalam hidupnya, tapi tak tahu harus
berbuat apa. Sekilas, ia melihat ke ufuk timur, di mana matahari mulai beraksi
memperlihatkan kebolehannya dalam menyinari bumi. Tak ada yang berbeda, masih
sama seperti hari-hari sebelumnya yang telah ia lewati dengan datar.
Sesampainya di depan sekolah, ia langsung turun dari motor dan mencium tangan
ayahnya. Tak lupa, ia juga memberi salam dan senyuman tipis pada ayahnya
sebelum ia beranjak memasuki sekolahnya dengan langkah gontai.
Datar,
biasa, dan membosankan. Gadis ini memang masih polos, sejak kecil ia selalu
terbiasa untuk terus belajar. Hingga saat ini, di umurnya yang sudah 14 tahun
ia masih saja senang belajar dan membaca berbagai buku. Bisa dibilang, ilmu
umumnya sudah begitu banyak meski umurnya masih belia. Pandangan gadis itu
kosong meski kedua kakinya tetap melangkah perlahan, pikirannya entah melayang
ke mana meski raganya tetap di tempat.
“TIN
TIN TINNNN!” suara klakson yang tak sabaran berbunyi di belakang gadis itu. “HEH
BURUAN NAPA KALO JALAN! MINGGIR-MINGGIR!” teriak sang pengemudi mobil sambil
mengumpat-umpat pelan.
Gadis
itu menengok ke arah mobil yang ada di belakangnya, ia menatap pengemudi mobil itu sekilas sebelum akhirnya
berjalan lagi perlahan. Ia tak peduli sama sekali dengan pengemudi mobil itu,
salah sendiri kan ya ke sekolah aja sok-sok an bawa mobil segala. Polusi udara
sama polusi suara aja. Sang pengemudi mobil hanya diam menatap kepergian gadis
itu, ia tak menyangka ada pula perempuan di sekolah ini yang sama sekali tak takut
ketika menatapnya. Ataukah perempuan itu tak tahu tentang dirinya? “Ah tidak,
semua orang di sini pasti sudah tahu tentang aku,” gumamnya pelan. Lalu, ia
segera menjalankan mobilnya lagi ke tempat parkir siswa di sebelah timur.
**
Gadis
itu sedang melangkahkan kakinya ke kantin sekolah, maklum bel tanda istirahat
sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu. Ia tak sendirian, ada gadis lain yang
sama-sama berjilbab putih menemaninya menuju kantin.
“Heh
Sa! Daritadi diajak ngobrol bengong terus, kamu kenapa sih?” ucap gadis
berjilbab putih dengan jam tangan tosca
di pergelangan tangan kirinya. Wajahnya nampak sedikit kesal karena sejak tadi
ocehannya tak didengarkan oleh kawannya ini.
“Hah?
Apa?” gadis dengan gelang hitam di pergelangan tangan kirinya ini terkesiap. Ia
sadar bahwa dirinya baru saja terlarut akan imajinasinya di awang-awang. “Bodoh!
Apa yang baru saja kau pikirkan Allyssa?” ucapnya dalam batin.
“Tuh
kan, kamu kenapa sih? Dari kemarin juga diajak ngomong susah banget
nyambungnya. Ada masalah ya? Atau ada sesuatu yang bikin kamu kepikiran terus?”
ucap gadis dengan jam tangan tosca
itu, ia memang sahabat Allyssa sejak lama.
“Ah
nggak kok Man, nggak ada apa-apa. Udah ah yuk cepet ke kantin, laperrr nih,”
sangkal Allyssa sambil menarik tangan sahabatnya kuat-kuat. Ia masih belum siap
menjawab pertanyaan dari Amanda saat ini, karena dirinya sendiri juga
sebenarnya tak tau hal apa yang berkecamuk di otaknya sejak kemarin.
Amanda
diam saja saat tangannya ditarik oleh Allyssa menuju kantin. Ia tahu bahwa
sahabatnya ini sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi tak ingin memaksa. Ia
percaya bahwa suatu saat nanti bila Allyssa sudah siap, gadis cerdas itu akan
segera menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Mereka tak sadar
ketika melewati deretan ruang kelas XII ada beberapa pasang mata yang melihat
mereka dengan tatapan meremehkan.
“Nah
itu tuh, yang pake gelang hitam. Sombong banget tuh cewek jadi adek kelas,”
ucap seorang laki-laki dengan perawakan paling tinggi di antara teman-temannya.
Kedua tangannya mengepal kuat, wajahnya memerah dan mulutnya berdesis.
“Ohh
yang itu, kayaknya tuh cewek emang belum tau tentang lo deh Rey. Wajahnya aja
keliatan masih polos begitu, mana masih kelas 10 lagi,” sahut seorang di antara
mereka yang terlihat paling mbeneh
daripada yang lain.
“Bodo
amat dia masih kelas 10 atau polos kek, gue gak peduli! Masih kecil begitu aja
udah berani sama kakak kelasnya kayak gini, gimana kalo udah lulus coba?” ucap
laki-laki yang disebut ‘Rey’ tadi. Terlihat sekali kebencian yang begitu
mendalam di matanya yang tajam.
“Ya
terus emang lo mau apain dia? Inget, dia masih kelas 10, jangan aneh-aneh! Masih
anak kemaren sore,” ucap laki-laki yang sejak tadi menyahuti ucapan Reyhan.
Sementara yang lain hanya memperhatikan mereka berdua tanpa berkomentar sedikit
pun.
“Nggak,
kali ini gue mau pakai jalan halus,” ucap Reyhan sambil tersenyum sinis.
Susunan rencana jahat tiba-tiba saja terlintas di otaknya.
“Apaan
Rey? Jangan aneh-aneh lo ya!” tiba-tiba muncul seseorang di antara mereka.
Orang yang tak diundang.
“Ngapain
lo di sini? Lagipula, apa peduli lo? Mending lo jauh-jauh deh, muak gue liat
muka munafik lo itu!” ucap Reyhan gusar. Ia tak menyangka orang ini akan mendengar
percakapan mereka. Orang itu pun langsung meninggalkan mereka dalam diam, ia
tak ingin terjadi pertumpahan darah di sana untuk saat ini. Asalkan Reyhan
masih dalam batas wajar, ia tak akan bertindak gegabah terlebih dahulu.
Setelah
seseorang itu pergi dan dipastikan tak dapat mendengar pembicaraan mereka lagi,
Reyhan tersenyum miring. Ia semakin bersemangat untuk melakukan misinya kali
ini.
**
Bel
tanda waktu belajar mengajar telah usai sudah berbunyi beberapa menit yang
lalu. Koridor kelas yang sebelumnya sepi pun jadi penuh sesak karena para murid
berebut ingin mencapai gerbang sekolah terlebih dahulu untuk segera pulang. Allyssa
yang memilih untuk berjalan santai menuju gerbang sekolah pun geleng-geleng
kepala melihat antusiasme siswa lain yang memilih berdesakan. Ia sedang
berjalan sendirian di koridor kelas X ketika tiba-tiba saja ada seseorang yang
menghalangi langkahnya. Ia ingin menghindar karena tak mengenalnya, namun
seseorang itu terus saja menghalangi jalannya. Karena sebal, ia pun memilih
untuk berbalik arah agar bisa segera mencapai gerbang sekolahnya mengingat
ayahnya sudah berada di sana. Namun, orang itu malah menarik tangan kanannya
pelan. Refleks, Allyssa pun menghentakkan tangan orang itu agar tak
menyentuhnya lagi.
“Ngapain
sih? Kenal aja nggak!” teriak Allyssa sambil melotot. Ia kesal ada orang tak
dikenal yang memegang tangannya cuma-cuma.
“Nah
makanya itu, biar kenal ya kenalan dong,” jawab orang itu sambil tersenyum
manis. “Kenalin, namaku Reyhan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya.
Namun,
bukannya menanggapi ucapan laki-laki itu, Allyssa malah memutar badannya dan
melenggang pergi begitu saja. Ia tak ingin mengenal ataupun berkenalan dengan
laki-laki mana pun kecuali teman sekelasnya. Sementara itu, laki-laki tadi
malah tersenyum sinis melihat langkah Allyssa yang meninggalkannya dengan
tergesa. Rencana pertamanya telah berjalan mulus tepat sesuai perkiraannya.
“Tunggu
aja Allyssa Rahma, kau akan segera luluh dan berbalik mengejarku setelah ini,”
batinnya sambil tersenyum sinis. Sementara itu, tangan kanannya merogoh saku
untuk menghubungi kekasihnya yang baru saja didapatnya seminggu yang lalu.
**
Satu
bulan berlalu begitu cepat, entah kenapa kini hati Allyssa terasa lebih
bervariasi. Perasaannya campur aduk dan dia sendiri tak bisa menafsirkan
sebenarnya rasa apakah ini. Hari-harinya terasa lebih berwarna, senyumnya yang
jarang nangkring di bibir tipisnya pun jadi tak pernah absen menghiasi wajah
manisnya. Langkahnya menuju sekolah jadi lebih bersemangat daripada biasanya,
jantungnya pun jadi lebih sering berdebar-debar tak karuan. Entah apa
penyebabnya.
“HEY
SAA TUNGGUINNN!!” teriak suara cempreng yang melengking dari ujung koridor.
Allyssa sudah bisa menebak kalau suara itu berasal dari mulut sahabatnya,
Amanda. Ia menengok sekilas ke belakang, lalu tetap melanjutkan langkahnya
tanpa menghiraukan sahabatnya.
Amanda
yang merasa kalau diacuhkan oleh sobat kesayangannya itu pun ikut mempercepat
langkahnya juga, hingga rok yang dipakainya harus dipegangi agar tak terbuka terlalu
lebar karena langkah empunya kaki terlalu panjang.
“Lysa!
Kenapa ditinggal sih?” ucap Amanda sambil menjajari sahabatnya dengan nafas agak
tersengal.
“Aduh
Man, masa iya aku diem aja sambil nungguin kamu, yaudah kan aku nungguinnya
sama jalan-jalan dikit ehee,” jawab Allyssa terkekeh sedikit. Sungguh, moodnya saat ini sedang sangat bagus
mengingat pengalaman baru yang terjadi padanya kemarin malam. Ia tersenyum lagi
dan lagi ketika mengingatnya.
“Nah
loh, kamu itu kenapa sih Sa? Dari tadi aku perhatiin kamu senyam senyum melulu,
kesambet apaan sih?” tanya Amanda terheran-heran. Amanda bukan heran karena
sobatnya ini sering tersenyum, tapi ia bertanya-tanya tentang binar mata gadis
ini. Ada apakah gerangan yang membuat mata seorang Allyssa begitu bersemangat
seperti ini?
“Ah
nggak tuh, siapa sih yang senyam senyum Man. Perasaanmu aja kalii hihii,” jawab
Allyssa sambil mengerlingkan matanya dengan manja.
“Yaelah
Sa! Dikira kita baru kenalan bentaran aja, aku tuh udah tau kali seluk belukmu
kayak gimana. Nah sekarang mending cepetan ceritain deh, ada kejadian apaan
kemaren sampek kamu semangat empat lima kayak gini?” tukas Amanda geregetan. Ia
tak mau pertanyaannya dijawab ngeles
lagi oleh Allyssa.
“Umm,
nanti aja ya ceritanya? Aku mau ke perpustakaan dulu pinjem buku,” jawab
Allyssa setelah mengambil beberapa buku pinjaman dari tas ranselnya dan
langsung melangkah pergi.
Amanda
merasakan sesuatu yang ganjil terjadi pada sahabatnya ini. Maka, tanpa suara ia
pun mengikuti Allyssa dan mengawasi segala gerak-geriknya. Ia masuk ke
perpustakaan setelah Allyssa mengambil tempat di meja bundar yang letaknya jauh
dari pintu masuk dan memastikan bahwa sahabatnya itu tak akan tahu kalau sedang
diikuti. Amanda mengambil tempat di sebelah rak buku yang paling dekat dengan
tempat Allyssa duduk tanpa sepengetahuannya, tentu saja dengan kamuflase
pura-pura membaca buku yang ada di sekitar situ.
Lima
belas menit berlalu dengan hening, Amanda jadi tak yakin tentang perasaannya
yang tak enak mengenai Allyssa tadi. Hampir saja ia beranjak meninggalkan
Allyssa ketika tiba-tiba terdengar suara hentakan sepatu yang memasuki ruang
perpustakaan. Refleks, Amanda pun menajamkan pendengarannya dan bersembunyi di
balik rak buku tanpa suara.
“Hey
cantik! Udah lama nunggunya ya?” ucap suara berat yang terdengar familiar di
telinga Amanda. Ia pun langsung mengintip siapa orang itu.
Amanda
hampir saja menjatuhkan bukunya begitu tau siapa yang sedang ditunggu oleh
sahabatnya di perpustakaan ini. Ia ingin segera mendatangi mereka ketika
telinganya sedikit mendengar percakapan yang terasa asing didengarnya. Darahnya
terasa naik ke ubun-ubun ketika laki-laki bejat itu mengucapkan kata-kata
bualan terbaiknya pada Allyssa. Bodohnya, Allyssa mengiyakan permintaan
laki-laki itu dan mereka pun keluar beriringan entah menuju ke mana.
Amanda
masih saja terpaku karena baru saja mendengar sesuatu yang jauh di luar
dugaannya. Ia pun segera merogoh smartphonenya
dan membuka aplikasi whatsapp untuk
menghubungi seseorang. Hal ini benar-benar gawat!
**
Laki-laki
itu berjalan dengan tergesa di sepanjang koridor. Perasaannya campur aduk dan
ia ingin segera mencapai apa yang sedang menjadi incarannya. “Bejat! Sungguh
bejat!” batinnya mengumpat tanpa henti. Begitu mendapat chat mengenai kabar pujaan hatinya sedang dibawa kabur oleh musuh
beratnya, laki-laki ini langsung berlarian menuju kelas dari musuhnya itu. Tak
mendapat informasi yang penting, ia pun langsung melangkahkan kakinya menuju roof top yang terletak di belakang
sekolah dan jauh dari keramaian.
Di
sana, ia melihat pemandangan yang benar-benar memuakkan. Pujaan hatinya sedang
menangis dengan pakaian yang lusuh sementara laki-laki bejat itu tengah berdiri
di depannya sambil tersenyum puas. Tak bisa ditahan, laki-laki itu pun langsung
menonjok kepala laki-laki bejat itu keras-keras.
“MAU
LO APA SIH REY? HAH?” teriak laki-laki itu dengan amarah yang sudah siap ia
tumpahkan sekarang juga, tangannya mengepal kuat.
“Oh,
David. Why? Apakah salah kalau gue sedikit
menyentuh perempuan ini? EMANG LO SIAPANYA HAH?” jawab laki-laki bejat yang
diketahui bernama Reyhan itu sambil memegangi pelipisnya yang terasa perih
karena mengucurkan darah segar.
“Gue
emang bukan siapa-siapanya, TAPI LO GAK BERHAK GINIIN DIA GOBLOK!” jawab David
sambil memukul perut Reyhan dengan kuat. Tak puas hanya sekali menyakiti
musuhnya ini, ia memukuli Reyhan berulang kali tanpa perlawanan yang berarti
darinya. Sementara Allyssa sendiri terlalu takut untuk melerai mereka, ia masih
terbayang apa yang baru saja dilakukan Reyhan kepadanya.
“BERHENTI!!”
teriak suara bariton dari ujung tangga. Seketika, suasana menjadi hening. “KALIAN
SEMUA IKUT BAPAK KE RUANG BK!!” teriaknya lagi dengan tatapan tajam.
**
Hari-hari
berlalu begitu cepat, namun peristiwa memalukan itu masih saja membekas di hati
Allyssa. Kini, ia benar-benar takut untuk mengenal laki-laki di luar sana usai
Reyhan melecehkannya. Meski kini ia bisa merasa sedikit lega karena laki-laki
itu sudah di Drop Out dari
sekolahnya, namun perasaan was-was masih saja menghantuinya. Ia selalu menolak
siapapun laki-laki yang berusaha berkenalan dengannya, namun sahabatnya itu
terus saja mengajaknya untuk mengenal Kak David semakin dekat.
Ngomong-ngomong
tentang Kak David, dia lah yang menyelamatkannya ketika ia merasa tak ada
satupun orang yang bisa menyelamatkan dirinya. Memang, Allyssa merasa sangat
berhutang budi pada Kak David, namun ia juga tak bisa untuk langsung percaya
begitu saja meski sikap dari laki-laki itu begitu baik dan sopan.
Hingga
suatu hari, laki-laki itu menyatakan perasaannya sambil membawa boneka lucu dan
bunga yang cantik di depan kelasnya ketika bel pulang sekolah baru saja
berbunyi. Allyssa terharu tapi ia masih terlalu takut untuk melangkah. Ia
menengok ke arah Amanda sebelum menjawab pertanyaan Kak David. Perlahan namun
pasti, Amanda tersenyum dan mengangguk kecil. Maka, Allyssa pun mau menerima
Kak David sebagai kekasihnya. Setidaknya ia berani untuk mencoba, ia percaya bahwa
Kak David tak akan macam-macam kepadanya dan benar-benar menyayanginya.
Calon penulis teenlit nih..
BalasHapusAamiin ya Allah..semogaaa🙏🙏
Hapus