Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba pink itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Gadis itu
menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera
masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua
orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya
beberapa orang saja yang sudah datang. Segera, gadis itu meletakkan ranselnya
yang berwarna pink dengan sembarangan di sekitar tempat
duduk baris kedua dari depan dan langsung menelungkup di atas meja. Beban
tasnya memang tak seberapa, namun beban batinlah yang membuatnya lelah seperti
ini. Ingin ia bolos sekolah, tapi tentu tak akan pernah dilakukannya sebab
tindakan itu sangat tercela.
Helaan napas
berat berulang kali diambilnya untuk menenangkan pikiran. Diam-diam, ada yang
memperhatikan segala gerak-gerik gadis itu sejak tadi. Orang itu mengerti
kegundahan hati gadis manis ini, namun ia tak punya kuasa apa-apa. Oleh karena
itu ia memilih diam. Orang itu, duduk tepat di sebelah bangku gadis itu.
**
Di tengah
pelajaran matematika, Valda terus saja gelisah tak bisa fokus ke materi yang
sedang diajarkan. Bukan karena materinya sulit, namun sejak tadi Radit teman
sebangkunya yang biasanya banyak bicara kali ini hanya diam saja. Bahkan
melirik padanya pun tidak. Ia sendiri juga bingung mengapa perasaannya tak
tenang seperti ini gara-gara dia. Padahal kan cuma Radit. Gara-gara terus
menerus dipandangi oleh Valda, akhirnya Radit melirik juga ke arahnya dengan
alis yang dinaikkan sedikit seolah bertanya “Kenapa?”. Namun Valda hanya
menggeleng singkat sambil tersenyum dan berusaha kembali fokus ke pelajaran.
Entah kenapa, hanya begini saja perasaannya jadi lebih tenang.
It’s time to
have first break.
“Val, ke kantin
yuk. Laper nih,” ucap seorang gadis dengan jam tangan oranye di pergelangan
tangan kirinya. Rambutnya yang hanya sebahu terlihat sedikit acak-acakan. Meski
begitu ia masih terlihat manis.
“Kayaknya aku
nggak ke kantin deh Sil, masih kenyang kok. Kamu duluan aja sama Lisa,” jawab
Valda singkat. Mata indahnya yang berwarna kecokelatan nampak sayu dan tak
bersemangat.
“Ha? Seorang
Valda bisa kenyang? Yakin nih? Lagipula, kelas habis ini sepi loh Val, berani
sendirian di sini?” jawab gadis yang satunya sambil bersedekap. Lagaknya ingin
membujuk gadis di hadapannya ini agar mau pergi ke kantin bersama-sama. Ia
ingin membuat Valda kembali seperti dulu lagi, ceria dan selalu bersemangat.
Bukan seperti sikapnya yang sekarang.
Valda menggigit
ujung bibirnya gemas, sebenarnya saat ini ia memang sedang kelaparan, perutnya
sudah berdangdut ria sejak tadi karena ingin segera diisi makanan. Namun,
mengingat sesuatu yang akan terjadi padanya bila berkeliaran di kantin, ia
langsung mengurungkan niat.
“Ah di sini kan
masih ada Radit tuh lagi ngebo, gak takut aku mah. Oh iya, aku nitip kamu aja
ya Sil? Kan kamu tahu kalau aku keluar nanti cewek-cewek fannya cowok itu pada
sinis ke aku. Malas banget, yayaya aku nitip kamu aja ya?” Valda melebarkan
kedua matanya sambil mengedip-ngedip berharap temannya ini mau mengerti
dirinya. Sementara yang dipandangi seperti itu malah memutar bola matanya
dengan malas, selalu saja seperti ini. Mau tak mau, ia sebenarnya kasihan juga
pada Valda mengingat betapa parahnya kelakuan fan fanatik Ketua OSIS itu.
“Hmm ya deh,
yaudah buruan sini uangnya, kayak biasa aja kan?” jawabnya agak malas. Kakinya
menghentak-hentak sedikit agar Valda bisa bergerak lebih cepat karena sejak
tadi perutnya juga sudah keroncongan menunggu diberi asupan makanan.
“Makasihh ya
Silvikuuu,” teriak Valda ketika Silvi sudah berada di ambang pintu kelas.
Memang dasar gadis ini tak tahu malu, jadi teman-teman sekelasnya juga sudah
terbiasa mendengar suara lengkingannya yang begitu merusak dunia.
Tanpa disadari
siapa pun, ada seseorang yang memperhatikan percakapan dua teman baik ini sejak
tadi. Ia merekam jelas semua obrolan itu di telinganya. Dan dalam batinnya, ia
merasa harus menghancurkan seseorang. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula
ada satu hati yang terluka melihat seseorang itu begitu memperhatikan Valda.
Dialah perempuan yang dulunya sangat dekat dengan orang itu, tentu saja sebelum
Valda datang di antara mereka dan merusak segalanya.
**
Bel tanda
pelajaran telah usai baru saja berbunyi untuk mengakhiri pelajaran Sejarah yang
menurut siswa Sains begitu sulit dan membosankan. Seketika, kelas yang
sebelumnya hening karena rata-rata siswanya tertidur saat pelajaran pun
langsung berubah menjadi pasar dadakan. Celotehan para siswa memenuhi ruangan
kelas itu. Gadis manis yang duduk di barisan kedua itu begitu bersemangat
membereskan peralatan sekolahnya. Matanya yang indah berbinar senang karena
akan segera lepas dari neraka dunia kali ini.
Tanpa ia sadari,
ada seorang gadis lain yang mendekat ke arahnya. Seorang gadis dengan kulit
yang putih bersih serta wajah yang cantik, namun sayang sikapnya begitu buruk.
Kali ini, entah apa yang akan ia lakukan pada Valda.
“Val, gue mau
ngomong sama lo,” ucap gadis itu sesampainya di dekat bangku di mana Valda
berada. Tatapannya seperti biasa, dingin dan menusuk yang selalu diarahkannya
pada Valda semenjak ia pindah ke sekolah ini. Sepintas, Valda merasa kaget
karena baru kali ini Letta berbicara dengannya menggunakan suara lirih. Namun,
ia cepat menguasai dirinya dan berusaha rileks.
“Ngomong aja lah
Let, kenapa harus izin segala,” jawab Valda sambil tersenyum. Ia sedang tak
ingin terlibat perdebatan dengan Letta saat ini.
“Tapi gak di
sini, sekarang buruan ikut gue,” sahut Letta masih dengan tatapan dingin lalu
berlalu begitu saja. Valda terdiam, ia bingung harus bagaimana. Namun akhirnya
ia memutuskan untuk mengikuti gadis itu.
Setelah
kepergian Valda, ada sosok lain yang mengikuti mereka berdua dari belakang.
Tanpa sepengetahuan mereka, ia terus mengikutinya hingga mereka berdua
sama-sama berhenti di taman belakang sekolah yang sepi dan jarang dijamah
orang-orang karena letaknya yang jauh dari keramaian. Sosok itu bersembunyi di
balik tembok pembatas antara ruangan laboratorium biologi dengan taman, ia
berusaha melebarkan telinga untuk mendengar percakapan dua gadis yang sama-sama
dikenalnya dekat.
“Mau ngomong apa
sih Let?” tanya Valda penasaran juga. Karena sejak beberapa menit yang lalu,
gadis di hadapannya ini hanya diam sambil menatapnya dengan tatapan yang tak
bisa diartikan.
“Val, gue mau lo
jauhin Radit,” ucap Letta pelan. Tatapannya pada Valda begitu dalam dan lebih
menusuk daripada biasanya.
“Maksud kamu
gimana sih Let? Aku gak paham,” jawab Valda dengan kening berkerut. Sungguh,
sebenarnya ia sangat tahu apa maksud Letta, namun entah kenapa ada sebagian
dari dirinya yang menolak.
Letta terdiam
sejenak, lalu mengalirlah secuil kisahnya bersama Radit. Bagaimana mereka
berkenalan, dekat, dan apapun kegalauan Radit dialah yang selalu tahu selama
ini. Dirinyalah yang paling dekat dengan Radit, sebelum laki-laki itu menutup
diri dari orang luar karena suatu hal yang melibatkan Ketua OSIS. Ia selalu
merasa bahwa hanya dirinya yang bisa mengerti Radit, sebelum Valda datang di
antara mereka dan membuat Radit lebih terbuka padanya. Letta menceritakannya
dengan mata yang berkaca-kaca dan terlihat sangat menyedihkan. Isakan kecil juga
keluar dari bibirnya, ia terlihat bahwa sangat tertekan.
Namun Valda, ia
merasa jauh lebih buruk dari Letta. Sekarang, ia baru menyadari bahwa perasaan
berdebar yang ia rasakan ketika Radit menatapnya dengan mata indah itu adalah
rasa suka. Sayangnya, ketika ia telah menyadari rasa itu, ada sesuatu yang
membuatnya harus menahan perasaan ini. Air matanya hampir saja keluar bila ia
tak ingat masih ada Letta di hadapannya yang berceloteh mengenai kisah mereka,
Letta dan Radit. Valda ingin menolak, tapi ia juga tahu diri dengan keadaan.
Letta memang lebih dulu kenal dengan Radit dan dekat dengannya, tak sepatutnya
ia menerobos di antara mereka dan mengambil Radit seenaknya. Ia tahu, bahwa
rasanya jadi Letta memang tak enak. Jadi pada akhirnya, ia setuju untuk menjauhi
Radit dengan menganggukkan kepalanya perlahan. Demi hubungan mereka, demi
perasaan Letta, dan demi kebahagiaan Radit, ia berani mengorbankan perasaannya
yang baru saja tumbuh perlahan.
Letta tersenyum
manis ketika melihat anggukan dari Valda. Matanya menyiratkan binar bahagia, ia
memeluk Valda sekilas dengan ucapan terima kasih terlontar berulang kali dari
bibirnya lalu pergi begitu saja.
Kini, tinggallah
Valda sendiri di taman belakang. Dalam kesendirian itu, ia tak peduli lagi akan
rasa takut yang sempat menyergapnya. Setetes cairan bening jatuh juga dari mata
indahnya, yang semakin lama semakin deras disertai isakan tertahan dari
bibirnya. Hatinya benar-benar perih karena dihadapi kenyataan menyedihkan
seperti ini. Ketika baru saja ia merasakan suka untuk yang pertama kalinya pada
laki-laki, mengapa harus ini yang terjadi padanya? Sekilas, ia mengingat-ingat
hidupnya yang memang terasa lebih berwarna karena Radit. Ia takut bila setelah
ini tak akan bisa merasakannya lagi.
Tanpa
diketahuinya, tanpa diketahui semua orang termasuk Letta. Radit yang mendengar
dan menyaksikan semuanya itu merasa geram. Valda sama sekali tak bersalah dalam
hal ini, ia merasa bahwa dirinyalah yang salah. Bersalah karena membiarkan
Valda mencuri hatinya perlahan hingga tak ada sisa sedikit saja untuk siapa
pun. Valda tak tahu, bahwa bahagia Radit adalah bersamanya.
#TantanganFiksiODOP
#CerpenTanpaSaltik
Wow keren.
BalasHapusSuka..
Pembukaan yang bikin pembaca ingin tahu kelanjutannya
Terima kasih banyak kak widπ masih perlu banyak belajar π
HapusCerpennya rapi sekali.
BalasHapusTerima kasih banyak kak yoga π
HapusAsyik bacanya
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih banyak kak bari π
Hapusada kata Valda di awal paragraf pake apostrof, 'Valda' maksudnya apa ya?
BalasHapusMaksudnya sih nyebut" nama itu kak, atau mungkin ndak perlu pakai tanda petik ya? Hehe makasih banyak kak dwi ππ
HapusSafina emang keren!
BalasHapusKak wakhid lebih kerenπ makasih banyak kakk
Hapusππππ
BalasHapusππππ
HapusJadi yg ngebuntut si radit nya sendiri?
BalasHapusaku kok kasian sama valda ya haha
Iya bener kak ren π cerita ini mah kak jangan baper π makasih banyak kak renπ
Hapuskeren...
BalasHapusAnak sekolahan banget ya..
Hehe maklum kak belum punya pengalaman lebih dari seputar sekolahπ makasih banyak kak tian π
HapusKeren, tulisannya ok, rapih. Cakep deh
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih banyak kak nana ππ
HapusKerennn suka sekali bacanya ππ
BalasHapusSukaaaa, ABG banget nih ceritanya. jadi berasa seumuran hahaha
BalasHapushayo, terinspirasi dari siapa ini...
BalasHapusEhem ehem... ABG bangetttt
BalasHapusTeenlit yaa, sukaa π
BalasHapusMencuri hatikundengan perlahanπ
BalasHapusπ
BalasHapusππππ
BalasHapus