Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Remorse


Bunyi gawai terus saja memenuhi isi rumah minimalis di sudut kota itu, tanpa ada yang berniat untuk mengambilnya. Bukannya tak ada orang, namun seluruh penghuni rumah sudah tertidur pulas karena jam dinding yang menggantung di atas potret keluarga itu telah menunjukkan pukul satu pagi. Gawai berwarna pink cerah itu terus saja bergetar dan berbunyi nyaring, hingga membangunkan salah satu anggota keluarga itu. Dengan sedikit terhuyung, seorang wanita dengan lingkar hitam di area matanya berjalan tergesa menuju gawai miliknya yang diletakkan di atas etalase kaca di ruang keluarga.

“Assalamu’alaikum, ada apa Mbak Nani telepon malam-malam begini?” ucap wanita itu setelah melihat sekilas caller identity orang yang menelponnya.

“Wa’alaikumussalam, Raza Wid Raza,” jawab seseorang yang diketahui bernama Nani itu dengan helaan napas berat. Sejak tadi, dirinya sudah kebingungan menghubungi seluruh sanak saudara mengenai kondisi Raza, cucunya yang baru saja menginjak umur empat tahun.

“Ada apa dengan Raza Mbak? Apakah kondisinya memburuk lagi?” tanya wanita itu mulai khawatir. Sekilas, dalam pikirannya terbayang tubuh kecil Raza yang mengurus karena penyakit yang dideritanya enam bulan belakangan.

“Raza meninggal Wid, cucuku meninggal lagi,” ucap Mbak Nani setelah berusaha menenangkan diri untuk menerima kenyataan.

“Apa? Bukannya kemarin keadaannya mulai membaik Mbak setelah di kemoterapi? Kenapa bisa jadi begini?” tanya wanita itu menggebu-gebu. Ia kaget bukan main karena mimpinya beberapa hari yang lalu ternyata benar-benar terwujud. Bunga tidur paling buruk yang pernah hinggap di alam bawah sadarnya.

“Memang begitu, namun baru saja kondisinya tiba-tiba kritis lagi. Dokter yang ada hanyalah dokter jaga dan sebelum pergi ia sempat berpamitan pada ibunya, bahwa ia merasa bahagia karena akan segera menemui kakaknya di sana,” sahut Mbak Nani dengan isak tangis yang terdengar memilukan.

Lagi-lagi, wanita itu termangu. Segala peristiwa yang terjadi persis seperti mimpinya, dan ia merasa bersalah karena itu. Memang, Raza bukan cucunya secara langsung, namun ia begitu menyayangi anak laki-laki mungil itu karena segala tentangnya mengingatkan semua orang akan Rafa. Sampai ia lupa bahwa sambungan telepon masih menyala, dan Mbak Nani yang berada di seberang sana masih terisak-isak kecil.

“Sa..sabar ya Mbak Nani, ini cobaan dari Allah bagi kita semua. Pasti akan ada hikmah di balik semuanya Mbak,” ucap wanita itu dengan air asin meleleh di sudut matanya yang nampak letih.

“Iya Wid, kalau begitu sudah ya. Aku mau menghubungi Tian dulu, assalamu’alaikum,” ucap Mbak Nani sambil memutuskan telepon. Wanita itu menjawab salam yang diucapkan kakak iparnya perlahan, tubuhnya lunglai di atas ubin yang terasa dingin. Ia tak menyangka bahwa dua anak kembar itu secepat ini meninggalkan keluarga mereka.

**

“Mas Suden, ayo cepat dong. Sudah siang nih,” ucap wanita berjilbab ungu tua sambil menggendong putra mereka yang masih bayi. Sang bayi baru saja tertidur kembali usai dimandikan oleh ibunya pagi tadi.

Lho, Dek Yoga juga diajak Ma?” jawab laki-laki dengan kemeja kotak-kotak yang baru saja menyelesaikan hajatnya di kamar mandi sambil mengambil kunci motor.

“Iyalah, kakak-kakaknya masih pada tidur tuh di kamar. Mau gimana lagi?” wanita itu masih saja menimang putra mereka yang baru berusia enam bulan. Wajah imut nan halus milik Yoga dielusnya perlahan dengan lembut. Tak ingin membuatnya terbangun.

“Jangan ah Ma, pamali kata orang kalau masih bayi ikut melayat. Bangunin tuh si Nisya, suruh jagain adiknya. Udah perawan begitu masa jam segini masih molor aja,” sahut Mas Suden sambil mengeluarkan sepeda motor matic berwarna merah kombinasi hitam dari garasi rumah mereka yang sempit.

Ntar kalo Dek Yoga nangis gimana dong Mas? Mbak Nisya kan belum bisa momong anak kecil,” sahut wanita itu menolak. Ia tak tega meninggalkan si kecil di rumah hanya dengan kakak-kakaknya yang bahkan hingga saat ini belum sadarkan diri.

“Udahlah Ma, biar Mbak Nisya itu belajar momong adiknya. Lagipula Dek Yoga kan juga lagi tidur,” ucap Mas Suden sudah siap di atas motor. Tatapannya menyiratkan tak ingin dibantah.

Maka, dengan langkah agak ragu akhirnya wanita itu masuk lagi ke rumah untuk menidurkan bayinya di samping putri sulungnya. Setelah memastikan bahwa putrinya sadar betulan, ia pun segera menyusul suaminya yang sudah siap di motor sedari tadi.

Sesampainya di kediaman orang tua Agia, wanita itu segera menghambur ke dalam rumah mencari jenazah Raza untuk melihatnya terakhir kali. Namun, di sana hanya ada Agia yang menangis tersedu di pelukan ibunya serta Mbak Nani yang menatapnya nanar. Mereka semua sama sedihnya dengan diri wanita itu, bahkan tentu Agia merasa jauh lebih terpukul daripada mereka. Karena ia lah yang melahirkan mereka berdua, Rafa dan Raza. Namun ternyata Allah telah mengambil keduanya hanya dalam rentang waktu satu tahun.

Wanita itu terduduk di ambang pintu, dirinya terlambat. Jenazah Raza telah dikebumikan beberapa saat yang lalu, dan ia tak bisa melihat wajah anak itu untuk yang terakhir kalinya. Ia menangis pelan, berusaha menahan segala rasa sesak yang menjalar di dadanya. Namun, tiba-tiba Agia kembali berteriak histeris. Penampilannya saat ini memang sangat acak-acakan dan lusuh, terlihat sekali bahwa dirinya benar-benar frustasi karena kedua putranya telah tiada. Namun, kali ini ia malah membenci wanita itu.

“Mbak Wida ngapain ke sini? Mau lihat gimana frustasinya aku karena ditinggal sama Raza ya?” tanya Agia histeris dengan tatapan mata yang penuh kebencian.

Wanita itu terperanjat, sama sekali tak ada dalam pikirannya untuk melakukan hal keji seperti itu. “Tentu tidak Dik, aku ingin melihat Raza untuk yang terakhir kalinya. Tapi ternyata aku terlambat,” jawabnya amat menyesal.

“Gak usah sok baik begitu Mbak di depan semua orang, mending sekarang Mbak pergi dari sini dan jangan kembali lagi. Aku capek Mbak liat mukamu yang munafik begitu!” teriak Agia sambil menunjuk-nunjuk Wida. Wida kaget, sama halnya dengan orang-orang yang ada di sana. Ibunda dari Agia pun langsung berusaha menenangkan anaknya agar tak berbuat ngawur seperti itu.

“Udah lah Bunda, gak usah nasihatin aku lagi. Sekarang aku udah dewasa Bun, dan aku juga tahu kalau Mbak Wida itu orangnya munafik!” teriak Agia lagi. Matanya betul-betul menyorotkan kebencian yang mendalam. Bunda dari Agia terus saja menyuruh putrinya untuk beristigfar dan menghentikan perbuatan bodohnya itu, namun ia sama sekali tak menghiraukan ucapan bundanya.

“Sekarang, Mbak pergi aja dari sini! Muak aku lihat muka Mbak kayak begitu. Dan oh ya satu hal lagi, jangan pernah kembali ke sini!” teriak Agia sambil mendorong tubuh Wida agar keluar dari rumah dan menutup pintunya dengan kasar.

Wida hanya bisa termangu, ia memang menyesal karena tak bisa datang tepat waktu untuk melihat dan mendoakan Raza. Namun, apakah harus separah itu kemarahan dari Agia?

#TantanganFiksi6
#DomesticDrama

Komentar

  1. Wida, mas suden dan yoga, semuanya satu keluarga 🙄

    BalasHapus
  2. Pas banget, Saf. Nisaa emang suka malas bangunnya. Keren deh tulisanmu. Safina Yes!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah da...

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah...