Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Malaikat Kecilku

“Reza! Jangan ambil uangku lagi! Kembalikan cepat!” teriak seorang gadis kecil dengan pakaian lusuh dan peluh yang menetes di dahinya. Tangan mungilnya berusaha menggapai tas kumal yang dibawa oleh anak laki-laki bertubuh bongsor yang berdiri di hadapannya.
“Malas banget harus kembalikan uang ini ke kamu! Heh ingat ya, uangnya Bu Nadia itu uangku juga! Jadi mending kamu sekarang cepet pergi sini sebelum aku sobek-sobek tas bututmu ini!” hardik anak laki-laki yang diketahui bernama Reza itu sambil mendorong gadis di hadapannya hingga tersungkur. Wajahnya memerah dan bibirnya menyunggingkan senyum sinis ketika melihat gadis kecil di hadapannya tertunduk sedih.
“Nih, kukembalikan tas kamu! Tapi, nggak ada isinya ya hahaha!” teriak Reza sambil melemparkan tas milik gadis itu yang memang sudah rusak sana sini. Merasa puas, ia pun beranjak pergi meninggalkan gadis malang itu sambil mengantongi uang hasil rampasannya dengan bangga.
Gadis kecil berjilbab oranye itu hanya bisa meratapi kemalangannya hari ini. Setetes cairan bening pun akhirnya mengalir juga ke pipinya yang kurus, ia tak kuasa menahan kekecewaan yang membuncah sejak tadi. Tubuhnya berguncang, isakan kecil juga mulai terdengar lirih dari bibirnya mengingat bagaimana adik-adiknya akan makan malam nanti bila sepeser uang pun tak bisa didapatnya hari ini. Terik matahari siang tak lagi dihiraukannya lagi, ia sangat kecewa.
Tubuh mungilnya terkulai lemas mengingat amarah Bu Nadia ketika dua hari yang lalu ia tak bisa menyetorkan uang hasil dagangan karena dirampas pula oleh putra semata wayangnya itu. Ini sudah ketiga kalinya Reza merampas uang yang harus disetorkannya pada Bu Nadia, entah bagaimana nasibnya hari ini. Dengan lunglai, gadis malang ini pun melangkah terseok-seok menyusuri jalanan. Barang dagangannya memang telah habis sejak tadi, tapi uang hasilnya tidak ada. Apa yang akan dikatakannya pada Bu Nadia nanti?
Langkah kecilnya berakhir di gerbang sebuah rumah besar yang terlihat kumuh. Di sinilah kediaman Bu Nadia beserta keluarganya. Gadis kecil itu menghela napas berat, ia ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, tak ada pilihan lain selain jujur pada Bu Nadia, toh ia juga tak punya uang untuk mengganti hasil dagangan. Perlahan, ia pun mulai memasuki halaman rumah majikannya yang begitu luas namun nampak tak terawat. Daun-daun kering berserakan di sekeliling halaman dan beberapa tumbuhan juga nampak layu. Gadis kecil itu sudah terbiasa akan kondisi rumah majikannya ini, meski sekarang perasaannya tak nyaman. Dalam hatinya, ia terus menyebut nama Allah dan berselawat. Setidaknya, hal ini bisa membuatnya jauh lebih tenang meski tak menghilangkan rasa takutnya.
“Assalamu’alaikum Bu Nadia, ini Rina,” ucap gadis itu sambil tangan mungilnya mengetuk pintu perlahan. Tangan kirinya memegang erat tampah kosong milik sang majikan, ia masih terlalu takut.
“Wa’alaikumsallam, mana hasilnya Rin?” jawab Bu Nadia sambil mendatangi Rina yang berada di ujung pintu. Tatapannya penuh harap karena omzet jualnya selalu menanjak naik bila Rina yang keliling berdagang. Selain itu, gadis kecil ini juga mau dibayar rendah untuk segala pekerjaan yang dilakukannya.
Rina terdiam, ia tak berani menatap wajah majikannya. Mukanya pucat, jari-jarinya semakin erat menggenggam tampah kosong. “A..anu Bu, ta..tadi uangnya dirampas sa..sama..,” belum sempat ia meneruskan kalimatnya.
“Apa? Kau mau berkata bahwa Reza yang mengambil uangnya lagi?” teriak Bu Nadia. Tangannya bersedekap dan tatapannya berubah tajam.
“Me..memang Reza Bu, yang mengambilnya..,” Rina semakin tertunduk dalam-dalam. Ia tahu bahwa setelah ini akan dimarahi habis-habisan oleh majikannya.
Tak disangkanya, tamparan keras dari tangan Bu Nadia lah yang berbicara. Ia terlihat sangat marah pada Rina. “Jangan berbohong! Kau selalu saja seperti ini! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!!” teriak Bu Nadia dengan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Ia juga mendorong tubuh kurus Rina hingga membuatnya tersungkur di lantai teras rumahnya. “Cepat pergi! Apa kau tak dengar? Kau jangan bekerja padaku lagi!!” hardik Bu Nadia lagi sambil terus mendorong tubuh mungil tak berdaya itu.
Rina tak kuasa untuk melawan, tenaganya terlalu lemah untuk itu, ditambah lagi ia belum memakan apapun sejak pagi tadi. Ia menghela napas panjang, butir-butir air mata mengalir lagi dari matanya yang sayu. Kali ini, ia benar-benar putus asa mengenai kelanjutan hidupnya nanti. Rintik hujan menemani setiap langkah pelan gadis malang itu, kakinya terlalu lemah untuk menahan beban hidup yang begitu berat seperti ini. Begitu juga mentalnya, di umurnya yang masih begitu belia ia harus menerima cobaan hidup beruntun dan tak dapat dibagi dengan siapapun seperti ini.
Rintik hujan telah berubah menjadi deras, namun Rina tak peduli akan hal ini. Ia terus berjalan tanpa memikirkan baju lusuhnya yang telah basah kuyup. Sepertinya, alam ikut menangisi kemalangan gadis itu hari ini. Tangis kekecewaannya telah bercampur dengan tangisan alam yang hanya menyisakan sakit hati yang mendalam. Aroma tanah basah menyerbak memenuhi paru-parunya. Gadis malang itu memejamkan mata, dalam hatinya terus terucap bacaan selawat agar rohaninya lebih damai dan bisa mengikhlaskan semuanya.
Tak lama setelah itu, hujan mulai reda. Tetesan-tetesan air tak lagi menghujani tubuh gadis kecil ini. Ia melihat ke langit yang luas, memastikan bahwa hujan memang sudah benar-benar reda. Untung bagi Rina karena saat melihat angkasa, ada pelangi yang baru saja muncul menghiasi langit dengan indahnya. Pelangi itu begitu cantik menghiasi tata surya, membentuk garis lengkung dengan berbagai macam warna yang indah di pandang mata. Perlahan namun pasti, tersungging juga senyuman tipis di bibirnya.
Ia mulai bisa mengendalikan hati dan pikirannya. Ia sadar, bahwa ini semua bukan salah siapa-siapa, bukan salah Reza ataupun orang tuanya. Ini semua hanyalah cobaan dari Allah untuk menguji keimanannya, dan ia berusaha untuk meyakininya sepenuh hati. Sepintas, ia teringat dengan kedua orang tuanya lagi. Ia rindu kebersamaan keluarganya, meski sejak dulu masih hidup dalam keadaan yang susah, namun setidaknya dulu mereka menghadapinya bersama-sama.
Setetes air asin menetes lagi dari matanya, ia amat merindukan kedua orang tuanya. Ia masih ingat dulu ketika kedua orang tuanya masih ada di dunia, mereka berenam dengan ketiga adiknya bermain-main bersama di sawah. Ketika itu, adik pertamanya yang bernama Rani menjahili beberapa ekor bebek liar yang sedang mencari makan di sana. Akhirnya terjadilah tragedi kejar-kejaran antara Rani dan para bebek itu, mereka semua tertawa bahagia saat itu, bersama-sama.
Berbagai memori antara dirinya dan keluarga terlintas begitu saja di otaknya. Banyak kenangan yang tak akan terlupa terjadi di antara mereka. Contohnya saja tentang sandal jepit oranye yang dipakainya saat ini. Memang, bila orang lain melihatnya sama sekali tak terlihat istimewa, apalagi sandal jepit itu seharusnya sudah dimuseumkan karena telah usang dimakan waktu. Namun, Rina tak ingin menggantinya dengan yang baru, karena sandal jepit inilah yang begitu berarti untuknya. Ia masih begitu ingat keinginan sederhananya dahulu ketika masih menduduki bangku sekolah. Saat itu, impiannya adalah memiliki sepatu baru untuk menggantikan sepatu lamanya yang sudah berlubang sana sini. Ia belajar begitu keras hingga mencapai peringkat pertama di kelasnya.
Namun, karena waktu itu keadaan ekonomi keluarga mereka sedang menurun begitu drastis, orang tuanya tak bisa membelikan Rina sepatu baru. Hanya sandal jepit ini yang dapat dibelikan orang tuanya waktu itu. Memang, waktu itu Rina masih begitu kecil dan belum bisa memahami kondisi orang tuanya. Ia sangat kecewa, bahkan ia sempat membuangnya ke got agar sandal jepit ini dimakan oleh tikus saja. Tapi, adik terkecilnya yang waktu itu masih berumur dua tahun lah yang menyadarkannya. Ia menasehati Rina seolah-olah gadis mungil itu sudah mengerti banyak mengenai kerasnya kehidupan. Rina menyesali perbuatan kekanakannya itu dan meminta maaf pada kedua orang tuanya bila selama ini ia terlalu menuntut banyak pada mereka.
Semburat jingga menghiasi langit sore, sudah waktunya gadis kecil ini pulang. Pasti ia sudah dinanti sejak tadi oleh ketiga adiknya. Sebelum kembali melangkah, Rina menatap langit dalam-dalam. Menikmati terbenamnya sang mentari di ufuk barat sambil menyunggingkan senyum kecil. Ia siap melanjutkan kehidupannya.

#TantanganFiksiODOP
#LimaKataKunci

Komentar

  1. Idenya bagus...alurnya runtut. Sip

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, makasih banyak kak bari 🙏

      Hapus
  2. mantap, pesannya keren, aku berharap ada lanjutannya. Biar Rina Bahagia hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu nulisnya buru" kak jadinya ide yg ada di kepala blm dieksekusi semua hehe 😂 makasih kak udah mampir🙏

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah datang. Seg

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah