Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
“Reza!
Jangan ambil uangku lagi! Kembalikan cepat!” teriak seorang gadis kecil dengan
pakaian lusuh dan peluh yang menetes di dahinya. Tangan mungilnya berusaha
menggapai tas kumal yang dibawa oleh anak laki-laki bertubuh bongsor yang
berdiri di hadapannya.
“Malas
banget harus kembalikan uang ini ke kamu! Heh ingat ya, uangnya Bu Nadia itu
uangku juga! Jadi mending kamu sekarang cepet pergi sini sebelum aku
sobek-sobek tas bututmu ini!” hardik anak laki-laki yang diketahui bernama Reza
itu sambil mendorong gadis di hadapannya hingga tersungkur. Wajahnya memerah
dan bibirnya menyunggingkan senyum sinis ketika melihat gadis kecil di
hadapannya tertunduk sedih.
“Nih,
kukembalikan tas kamu! Tapi, nggak ada isinya ya hahaha!” teriak Reza sambil
melemparkan tas milik gadis itu yang memang sudah rusak sana sini. Merasa puas,
ia pun beranjak pergi meninggalkan gadis malang itu sambil mengantongi uang
hasil rampasannya dengan bangga.
Gadis
kecil berjilbab oranye itu hanya bisa meratapi kemalangannya hari ini. Setetes
cairan bening pun akhirnya mengalir juga ke pipinya yang kurus, ia tak kuasa
menahan kekecewaan yang membuncah sejak tadi. Tubuhnya berguncang, isakan kecil
juga mulai terdengar lirih dari bibirnya mengingat bagaimana adik-adiknya akan
makan malam nanti bila sepeser uang pun tak bisa didapatnya hari ini. Terik
matahari siang tak lagi dihiraukannya lagi, ia sangat kecewa.
Tubuh
mungilnya terkulai lemas mengingat amarah Bu Nadia ketika dua hari yang lalu ia
tak bisa menyetorkan uang hasil dagangan karena dirampas pula oleh putra semata
wayangnya itu. Ini sudah ketiga kalinya Reza merampas uang yang harus
disetorkannya pada Bu Nadia, entah bagaimana nasibnya hari ini. Dengan lunglai,
gadis malang ini pun melangkah terseok-seok menyusuri jalanan. Barang
dagangannya memang telah habis sejak tadi, tapi uang hasilnya tidak ada. Apa
yang akan dikatakannya pada Bu Nadia nanti?
Langkah
kecilnya berakhir di gerbang sebuah rumah besar yang terlihat kumuh. Di sinilah
kediaman Bu Nadia beserta keluarganya. Gadis kecil itu menghela napas berat, ia
ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, tak ada pilihan lain selain jujur pada
Bu Nadia, toh ia juga tak punya uang untuk mengganti hasil dagangan. Perlahan,
ia pun mulai memasuki halaman rumah majikannya yang begitu luas namun nampak
tak terawat. Daun-daun kering berserakan di sekeliling halaman dan beberapa
tumbuhan juga nampak layu. Gadis kecil itu sudah terbiasa akan kondisi rumah
majikannya ini, meski sekarang perasaannya tak nyaman. Dalam hatinya, ia terus
menyebut nama Allah dan berselawat. Setidaknya, hal ini bisa membuatnya jauh lebih
tenang meski tak menghilangkan rasa takutnya.
“Assalamu’alaikum
Bu Nadia, ini Rina,” ucap gadis itu sambil tangan mungilnya mengetuk pintu
perlahan. Tangan kirinya memegang erat tampah kosong milik sang majikan, ia
masih terlalu takut.
“Wa’alaikumsallam,
mana hasilnya Rin?” jawab Bu Nadia sambil mendatangi Rina yang berada di ujung
pintu. Tatapannya penuh harap karena omzet jualnya selalu menanjak naik bila
Rina yang keliling berdagang. Selain itu, gadis kecil ini juga mau dibayar
rendah untuk segala pekerjaan yang dilakukannya.
Rina
terdiam, ia tak berani menatap wajah majikannya. Mukanya pucat, jari-jarinya
semakin erat menggenggam tampah kosong. “A..anu Bu, ta..tadi uangnya dirampas
sa..sama..,” belum sempat ia meneruskan kalimatnya.
“Apa?
Kau mau berkata bahwa Reza yang mengambil uangnya lagi?” teriak Bu Nadia.
Tangannya bersedekap dan tatapannya berubah tajam.
“Me..memang
Reza Bu, yang mengambilnya..,” Rina semakin tertunduk dalam-dalam. Ia tahu bahwa
setelah ini akan dimarahi habis-habisan oleh majikannya.
Tak
disangkanya, tamparan keras dari tangan Bu Nadia lah yang berbicara. Ia
terlihat sangat marah pada Rina. “Jangan berbohong! Kau selalu saja seperti
ini! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!!” teriak Bu Nadia dengan
amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Ia juga mendorong tubuh kurus Rina
hingga membuatnya tersungkur di lantai teras rumahnya. “Cepat pergi! Apa kau
tak dengar? Kau jangan bekerja padaku lagi!!” hardik Bu Nadia lagi sambil terus
mendorong tubuh mungil tak berdaya itu.
Rina
tak kuasa untuk melawan, tenaganya terlalu lemah untuk itu, ditambah lagi ia
belum memakan apapun sejak pagi tadi. Ia menghela napas panjang, butir-butir
air mata mengalir lagi dari matanya yang sayu. Kali ini, ia benar-benar putus
asa mengenai kelanjutan hidupnya nanti. Rintik hujan menemani setiap langkah pelan
gadis malang itu, kakinya terlalu lemah untuk menahan beban hidup yang begitu
berat seperti ini. Begitu juga mentalnya, di umurnya yang masih begitu belia ia
harus menerima cobaan hidup beruntun dan tak dapat dibagi dengan siapapun
seperti ini.
Rintik
hujan telah berubah menjadi deras, namun Rina tak peduli akan hal ini. Ia terus
berjalan tanpa memikirkan baju lusuhnya yang telah basah kuyup. Sepertinya,
alam ikut menangisi kemalangan gadis itu hari ini. Tangis kekecewaannya telah
bercampur dengan tangisan alam yang hanya menyisakan sakit hati yang mendalam. Aroma tanah basah menyerbak memenuhi
paru-parunya. Gadis malang itu memejamkan mata, dalam hatinya terus terucap
bacaan selawat agar rohaninya lebih damai dan bisa mengikhlaskan semuanya.
Tak
lama setelah itu, hujan mulai reda. Tetesan-tetesan air tak lagi menghujani
tubuh gadis kecil ini. Ia melihat ke langit yang luas, memastikan bahwa hujan
memang sudah benar-benar reda. Untung bagi Rina karena saat melihat angkasa,
ada pelangi yang baru saja muncul
menghiasi langit dengan indahnya. Pelangi itu begitu cantik menghiasi tata
surya, membentuk garis lengkung dengan berbagai macam warna yang indah di
pandang mata. Perlahan namun pasti, tersungging juga senyuman tipis di
bibirnya.
Ia
mulai bisa mengendalikan hati dan pikirannya. Ia sadar, bahwa ini semua bukan
salah siapa-siapa, bukan salah Reza ataupun orang tuanya. Ini semua hanyalah
cobaan dari Allah untuk menguji keimanannya, dan ia berusaha untuk meyakininya
sepenuh hati. Sepintas, ia teringat dengan kedua orang tuanya lagi. Ia rindu
kebersamaan keluarganya, meski sejak dulu masih hidup dalam keadaan yang susah,
namun setidaknya dulu mereka menghadapinya bersama-sama.
Setetes
air asin menetes lagi dari matanya, ia amat merindukan kedua orang tuanya. Ia
masih ingat dulu ketika kedua orang tuanya masih ada di dunia, mereka berenam
dengan ketiga adiknya bermain-main bersama di sawah. Ketika itu, adik
pertamanya yang bernama Rani menjahili beberapa ekor bebek liar yang sedang mencari makan di sana. Akhirnya terjadilah tragedi
kejar-kejaran antara Rani dan para bebek itu, mereka semua tertawa bahagia saat
itu, bersama-sama.
Berbagai
memori antara dirinya dan keluarga terlintas begitu saja di otaknya. Banyak
kenangan yang tak akan terlupa terjadi di antara mereka. Contohnya saja tentang
sandal jepit oranye yang dipakainya
saat ini. Memang, bila orang lain melihatnya sama sekali tak terlihat istimewa,
apalagi sandal jepit itu seharusnya sudah dimuseumkan karena telah usang
dimakan waktu. Namun, Rina tak ingin menggantinya dengan yang baru, karena
sandal jepit inilah yang begitu berarti untuknya. Ia masih begitu ingat
keinginan sederhananya dahulu ketika masih menduduki bangku sekolah. Saat itu, impiannya
adalah memiliki sepatu baru untuk menggantikan sepatu lamanya yang sudah
berlubang sana sini. Ia belajar begitu keras hingga mencapai peringkat pertama
di kelasnya.
Namun,
karena waktu itu keadaan ekonomi keluarga mereka sedang menurun begitu drastis,
orang tuanya tak bisa membelikan Rina sepatu baru. Hanya sandal jepit ini yang
dapat dibelikan orang tuanya waktu itu. Memang, waktu itu Rina masih begitu
kecil dan belum bisa memahami kondisi orang tuanya. Ia sangat kecewa, bahkan ia
sempat membuangnya ke got agar sandal jepit ini dimakan oleh tikus saja. Tapi, adik terkecilnya yang
waktu itu masih berumur dua tahun lah yang menyadarkannya. Ia menasehati Rina
seolah-olah gadis mungil itu sudah mengerti banyak mengenai kerasnya kehidupan.
Rina menyesali perbuatan kekanakannya itu dan meminta maaf pada kedua orang
tuanya bila selama ini ia terlalu menuntut banyak pada mereka.
Semburat
jingga menghiasi langit sore, sudah waktunya gadis kecil ini pulang. Pasti ia
sudah dinanti sejak tadi oleh ketiga adiknya. Sebelum kembali melangkah, Rina
menatap langit dalam-dalam. Menikmati terbenamnya sang mentari di ufuk barat
sambil menyunggingkan senyum kecil. Ia siap melanjutkan kehidupannya.
#TantanganFiksiODOP
#LimaKataKunci
Idenya bagus...alurnya runtut. Sip
BalasHapusAlhamdulillah, makasih banyak kak bari 🙏
Hapusmantap, pesannya keren, aku berharap ada lanjutannya. Biar Rina Bahagia hehehe
BalasHapusItu nulisnya buru" kak jadinya ide yg ada di kepala blm dieksekusi semua hehe 😂 makasih kak udah mampir🙏
Hapus