Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Waktu berlalu begitu cepat, dan sekarang ini sudah pukul
8 malam. Seorang gadis cantik dengan perawakan sedang dan bertubuh langsing itu
baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menghela napas panjang, mencoba
untuk menenangkan dirinya sendiri dari suatu masalah. Sebenarnya ini bukanlah
masalah, bukan juga sesuatu yang harus segera diselesaikan. Namun, ini hanyalah
takdir. Dan kali ini, takdir buruk lah yang menimpa gadis cantik ini. Berulang
kali ia memijit pelipisnya, berusaha membuatnya lebih baik meskipun sebenarnya
tak berpengaruh banyak. Kepalanya masih terasa pening dirundung kekecewaan. Ia ingin
menangis, tapi tak ada cairan bening yang ingin keluar dari pelupuk matanya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka ponselnya.
Barangkali, di sana ada sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Sebenarnya
ia ingin bermain game untuk sedikit
menghibur dirinya sendiri, namun ia salah fokus ke chat whatsapp yang masuk
dari salah satu adik kelasnya pramuka. Dulu, gadis ini memang ikut organisasi pramuka,
namun sekarang sudah digantikan oleh kelas XI. Ia pun dengan segera menjawab
pertanyaan dari adik kelasnya mengenai surat menyurat. Maklum, dulu ia adalah
sekretaris pramuka di ambalan sekolahnya. Setelah membalas chat dari adik kelasnya itu, gadis ini pun iseng membuka status whatsapp teman-temannya. Barangkali ada
hal lucu yang dapat membuat moodnya
lebih baik.
Biasa saja, tak ada yang membuat perasaannya membaik, ia
pun melewati semua status dengan datar dan tak begitu tertarik. Hingga ia
melihat sebuah foto yang di upload
oleh adik kelasnya pramuka, di sana terpampang nyata lelaki yang pernah
menghuni hatinya selama bertahun-tahun sedang bercanda tawa dengan gadis lain.
Bahkan di salah satu foto, lelaki tersebut juga menggendong gadisnya yang baru.
Sangat mesra, tapi sangat menyakitkan untuknya. Tak terasa, setetes cairan
bening pun akhirnya mengalir juga dari matanya yang indah. Ia menangis, ia
merasa amat sakit hati. Mereka berdua baru saja memutuskan untuk berpisah
karena suatu hal, namun lelaki itu sudah menggaet perempuan lain dalam waktu
sesingkat ini. Apakah ini semua memang sudah direncanakan? Batinnya saat itu.
Tapi, ia tak kuasa untuk berbuat apa pun. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk
membuat lelaki itu kembali. Setidaknya itulah yang ada di pikiran gadis ini.
Yang dapat ia lakukan saat ini hanya satu, menangis. Ia tak marah pada
laki-laki itu karena sudah memiliki penggantinya dalam waktu sesingkat ini,
tapi ia marah pada dirinya sendiri. Ia kesal, mengapa perasaannya pada lelaki
itu hingga kini masih sama dalamnya seperti dulu, sementara dirinya saja sudah
bahagia dengan perempuan yang baru.
Gadis itu, adalah Amelia. Seorang gadis dengan wajah yang
manis dan selalu terlihat ceria di depan semua orang. Tapi, siapa yang tahu isi
hati seorang Amelia yang sebenarnya? Hanya dia sendiri lah yang tahu bahwa
selama ini perasaannya belum berubah secuil pun terhadap laki-laki itu.
Sekalipun lelaki itu selalu menyakitinya berulang kali, namun ia tetap
bertahan. Meski kini sudah tak ada ikatan lagi di antara mereka, tapi sebenarnya
Amelia masih sedikit berharap pada laki-laki ini. Ia berharap bahwa suatu hari,
laki-laki pujaan hatinya ini akan menganggap dirinya dan mereka bisa bersama
lagi. Dan sekarang, harapan yang pernah dibangunnya itu pun roboh seketika.
Ia menghela napas panjang, masalah satu belum selesai
namun sudah muncul masalah baru. Mungkinkah hari-harinya ke depan akan dipenuhi
oleh masalah tak bertuan yang tak bisa diselesaikan seperti ini? Gadis itu
menggeleng tegas, ia tak ingin seperti ini lagi. Tapi, apa yang harus
dilakukannya? Lagi-lagi ia menangis. Merutuki dirinya sendiri yang sulit
mengontrol emosi.
Rintik hujan mulai terdengar berjatuhan satu demi satu di
atap rumahnya. Menandakan bahwa malam ini akan amat dingin karena suhu udara
yang menurun begitu cepat. Gadis itu berpikir, mungkinkah alam ikut menangisi
kesialannya hari ini? Mungkinkah alam mengerti perasaannya saat ini? Mungkinkah
ini cara alam untuk menghiburnya dalam diam? Air matanya semakin deras. Tiba-tiba
saja terlintas film pendek akan masa lalu yang memutar cepat di otaknya.
Rangkaian kenangan yang selama ini ingin ia lupakan dan mulai terurai pun
akhirnya menyatu kembali.
Ia masih begitu ingat akan semuanya, tak terlupakan
sedikit pun. Selama ini yang ia lakukan hanyalah berlari dari masa lalu yang
masih menghantui, namun masa itu masih tertanam kuat di hati dan pikirannya
tanpa ia sadari. Mata itu, mata yang tajam dan penuh kekuatan namun terlihat
lembut apabila sedang bersamanya. Tubuhnya atletis, wajahnya yang menarik, dan
senyumnya yang manis membuatnya terkenal di seantero sekolah. Tak jarang,
banyak pula para perempuan yang berusaha menggodanya dan mendekati dirinya baik
kakak kelas maupun adik kelas. Tak jarang juga Amelia mendapat labrakan dari
mereka para fans fanatik laki-laki itu. Namun, saat itu ia masih memilih
Amelia.
Fandy, dialah laki-laki itu. Satu-satunya laki-laki yang
pernah bersemayam di hati Amelia sejak lama. Laki-laki yang selalu menjadi
prioritas Amelia sejak dulu, meski Fandy selalu saja marah-marah padanya. Seperfect apapun seseorang di mata
manusia, tentu masih ada kekurangannya yang tak diketahui banyak orang. Sejujurnya,
ia adalah lelaki yang temperamental, pencemburu, dan sangat posesif akan apapun
pada Amelia. Selain itu, Fandy juga orang yang tak mau mengalah meskipun salah,
ia juga sangat playboy dan senang
mempermainkan hati perempuan. Pada dasarnya, ia tak sesempurna yang dibayangkan
fans fanatiknya. Namun entah kenapa, rasa itu susah hilang dari lubuk hati
Amelia yang terdalam.
Film pendek masa lalunya masih terus berputar, ia bisa
melihat dengan jelas bagaimana cara mereka berkenalan dulu. Lucu memang, mereka
kenal lewat media sosial padahal menuntut ilmu di sekolah yang sama. Akhirnya
mulai sering chatting, lalu Fandy
menyatakan perasaannya pada Amelia pada bulan Juli tahun 2014. Saat itu, Amelia
mau menerima Fandy hanya karena kasihan. Ia tak tega harus menolak Fandy untuk
yang keempat kalinya, maka dari itu ia memilih untuk menerima Fandy. Hari-hari
berlalu begitu cepat, di awal masa indah itu mereka masih baik-baik saja, belum
banyak pelajaran hidup yang dapat diambil dari sana. Masuk di tahun kedua
mereka menjalin hubungan, pertengkaran mulai sering terjadi. Entah itu
gara-gara Amelia yang sering pulang bareng dengan teman sekelasnya yang
kebetulan laki-laki, maupun Fandy yang didekati perempuan lain dan ia
menanggapi. Begitu banyak rintangan dan cobaan yang mereka rasakan di tahun
kedua itu. Dan saat itu, Fandy masih memilih Amelia.
Air mata Amelia semakin deras, sulit untuk dibendung. Ia
menelungkup di atas boneka beruang favoritnya, pemberian Fandy saat ia ulang
tahun dua tahun yang lalu. Tangannya mengenggam bulu boneka dengan erat, seakan
ia sedang memeluk Fandy saat ini meskipun hanya ilusinya saja. Di otaknya, ia
masih begitu ingat bagaimana dulu ketika masih menjalin hubungan, Fandy begitu
posesif dan pencemburu. Setiap kali bel istirahat berbunyi, laki-laki itu pasti
sudah stand by di depan kelasnya
untuk pergi ke kantin bersama, seakan ingin menunjukkan pada semua orang bahwa
Amelia adalah miliknya. Sekali lagi, Amelia menahan sesak yang amat sangat di
dadanya. Kejadian demi kejadian itu terjadi begitu saja tak bisa ia tolak, dan
ingatan-ingatan tentang itu juga muncul begitu saja tanpa dapat ia hapus.
“Nak, ayo shalat Isya’ dulu,” suara lembut yang
menenangkan hati terdengar dari luar kamar Amelia. Itu adalah bundanya.
“Iya Bunda, habis ini Amel mau shalat,” jawab Amelia
lirih, berusaha menutupi suaranya yang bergetar karena tangisan yang tiada
henti.
“Jangan lupa ya Nak, Bunda mau istirahat dulu,” sehabis
berucap begitu, terdengar derap langkah kaki yang semakin lama makin mengecil, pertanda
bundanya Amelia sudah beranjak dari depan pintu kamar.
Amelia memang masih sedih, tapi ia merasa bahwa harus
segera shalat. Barangkali dengan shalat, perasaannya akan lebih baik nantinya.
Gadis cantik ini pun segera mengusap air matanya dengan kasar, berusaha
menghilangkan segala bekasnya agar tak terlihat bahwa baru saja menangis
berjam-jam. Setelah merasa lebih baik, ia segera keluar kamar dan menuju tempat
wudhu. Begitu air wudhu menyentuh wajahnya yang manis, perasaannya menjadi
lebih tenang. Nafasnya pun terasa lebih bebas seketika. Sungguh, efek wudhu memang
begitu besar bagi seseorang.
Segera setelah mengambil air wudhu, Amelia beranjak
mengenakan mukena dan shalat Isya’. Ia berusaha shalat dengan khusyuk, namun
bayangan tentang seorang di masa lalunya masih saja terngiang. Selesai shalat,
cairan bening dari mata gadis itu pun lolos lagi. Ia memang merasa lebih baik
dari sebelumnya, tapi ia juga menyadari bahwa semuanya tak bisa berubah begitu
saja. Semuanya masih sama, dia dengan perempuan lain yang juga kenal dengannya.
Perlahan, tangannya menengadah, berdoa pada Yang Maha Kuasa agar selalu
diberikan ketabahan dalam hidup dan bisa melewati segala cobaan yang diberikan
oleh-Nya, tak lupa ia juga selalu mendoakan seluruh keluarganya agar selalu
diberi kesehatan dan keberkahan dalam hidup. Gadis itu menangis lagi, bercerita
kepada Allah semua yang dirasakannya. Ia percaya bahwa Allah bisa mendengar apa
yang ia katakan, meski itu dalam batin saja.
Segaris senyum tipis akhirnya tersungging kecil di sudut
bibirnya yang manis. Ia merasa lebih baik meski lelehan air asin masih terus
keluar dari sudut matanya yang basah. Tiba-tiba, ia merasa amat kedinginan
karena rintik hujan telah berubah menjadi deras dan udara juga semakin dingin. Amelia ingin segera ke kamarnya lagi, namun hawa dingin
yang begitu menusuk menghentikan niatnya. Ia memutuskan untuk tiduran sebentar
di atas sajadahnya, masih lengkap dengan mukena putih corak bunga-bunga yang
berwarna pink favoritnya. Tanpa ia
sadari, ada seseorang yang memperhatikan segala gerak gerik yang dilakukannya
sejak keluar dari kamar tadi. Seseorang itu juga tahu apa yang sedang menjadi
beban dari Amelia saat ini. Tapi, orang itu memilih untuk diam, berpura-pura
tak tahu menahu akan apa yang sedang terjadi.
“Ini masih awal Amelia, masa remajamu masih panjang.
Jangan pernah berhenti mencari pengalaman dan putus asa hanya karena laki-laki
itu Amelia,” batin orang itu sambil melihat dalam-dalam wajah Amelia yang
tertidur pulas dengan tenangnya.
**
Jalanan masih terlihat lengang, pedagang kaki lima yang
biasa berjualan nasi dan lauk pauk untuk sarapan juga masih bersiap-siap di
lapak masing-masing sepanjang Jalan Dhoho. Seorang gadis cantik berjilbab biru
dongker yang sudah berseragam sekolah sedang melintas di jalan itu dibonceng
oleh ayahnya. Mata gadis itu masih terlihat sembap dan kemerahan, pandangannya
kosong menyisiri jalan. Ia masih terbayang ucapan bundanya sebelum pamit untuk
berangkat sekolah barusan.
“Nak, berjuanglah demi masa depanmu. Janganlah kamu
berputus asa dan kecewa berlebihan hanya karena seorang laki-laki tak
bertanggung jawab yang pernah datang di hidupmu itu. Ia tak pantas kau tangisi,
masih banyak laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dia, mengapa kamu masih
saja memikirkannya Nak?” ucap suara lembut itu sambil mengelus kepala Amelia
perlahan dengan penuh kasih sayang.
Amelia hanya bungkam saat itu, ia tak berani menjawab
apapun pada bundanya. Ia takut ucapannya akan menambah risau hati bundanya.
Maka dari itu, Amelia hanya mengangguk pelan untuk menanggapi ucapan bundanya
sebelum berpamitan untuk berangkat sekolah.
Gadis itu menatap ke langit yang luas di pagi hari yang
cerah ini. Udara sekitar masih terasa dingin meski ia telah memakai jaket tebal
untuk menutupi tubuhnya, sinar sang mentari juga masih malu-malu untuk
menerangi dunia. Perlahan namun pasti, senyum manis itu tersungging juga di
bibir tipisnya yang kering. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada sebelumnya,
dan ia merasa senang akan hal itu.
Namun, saat ia mengalihkan pandangan dari langit yang
cerah, ekspresi wajahnya pun berubah drastis karena melihat sesuatu yang
membuatnya patah hati lagi. Tepat di depan matanya, laki-laki yang masih
disayanginya itu sedang bercanda tawa dengan gadisnya yang baru. Namanya adalah
Shelin, berada di organisasi yang sama dengannya, meski beda satu tingkat.
Nafasnya terasa sesak dan matanya memanas, namun ia tak bisa melakukan apa-apa.
Ia ingin sekali menjadi seorang yang ikhlas dengan kepergiannya. Ia ingin bahagia
asalkan melihat dia bahagia juga, meski bukan dengan dirinya. Namun, saat ini
ia masih belum bisa.
Amelia berusaha keras untuk menahan air matanya agar tak
keluar lagi, karena matanya sudah cukup bengkak akibat menangis berjam-jam
semalam. Ia berhasil untuk tak menangis, meski dadanya terasa semakin sesak
karena hal itu. Sesampainya di sekolah, ia langsung turun dari motor dan
melepas helm yang dipakainya.
“Nanti jemput jam 3 ya Yah, assalamu’alaikum,” ucap
Amelia sambil mencium tangan ayahnya.
“Iya Nak, wa’alaikumsallam,” jawab ayah Amelia. Sementara
Amelia langsung berlalu setelah menyunggingkan senyum tipis pada ayahnya.
Amel berjalan gontai memasuki gerbang sekolah,
semangatnya yang tadi mulai terbentuk sudah menguap entah ke mana gara-gara
sesuatu yang dilihatnya di jalan menuju sekolah tadi. Ia melangkah sambil
menunduk, tak ingin orang-orang melihatnya dengan mata yang sembap seperti ini.
Namun tiba-tiba,
“ADUH!” tiba-tiba ada seseorang yang menabrak tubuh Amel
dengan keras hingga ia terpental ke belakang beberapa langkah. Moodnya yang memang sudah buruk daritadi
malah bertambah buruk gara-gara ditabrak oleh orang seperti ini.
“KALO JALAN HATI-HATI DONG, NABRAK KAN JADINYA!” teriak
Amel dengan suaranya yang melengking. Orang yang menabraknya adalah laki-laki,
tapi selama ini ia belum pernah sekalipun melihat wajah seperti ini di
sekolahnya. Mungkinkah laki-laki ini murid baru? Ah sudahlah, itu bukan hal
yang penting. Maka setelah merasa sedikit puas karena sudah membentak laki-laki
itu, Amel langsung berlalu begitu saja dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata
pun.
Dan laki-laki itu, merasa speechless karena di hari pertamanya bersekolah sudah ada yang
membentaknya keras di koridor. Perempuan pula! “Huftt, mungkinkah akan ada yang lebih parah
daripada ini? Dibentak perempuan pagi-pagi di koridor sekolah dan dilihat
banyak murid pula. Sungguh memalukan,” batin pemuda itu dengan mimik muka
kesal.
**
The first lesson
will be started in five minutes.
Amel sudah duduk di bangkunya saat bel tanda jam
pelajaran pertama akan segera dimulai berbunyi. Beberapa temannya yang lain
masih sibuk menyalin tugas matematika miliknya. Ia duduk sendirian hari ini,
karena teman sebangkunya sedang sakit jadi tak bisa masuk sekolah. Sudah ada di
bayangannya bahwa hari ini akan membosankan dan datar karena tak ada teman
sebangkunya itu, dan ia benci akan hal itu. Amel menopang dagu dengan tangan
kanannya, ia merasa sangat bosan.
Tiba-tiba pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Entah kenangan apapun yang
akan muncul di otaknya, ia berusaha untuk selalu siap dan tabah menghadapinya.
Suara
sepatu pantofel guru perempuan menggema di koridor, disertai dengan langkah
kaki ringan di belakangnya. Dan nampaknya, langkah kaki itu mengarah ke kelas
tempat Amel menimba ilmu.
“Assalamu’alaikum
murid-murid, selamat pagi..” sapa Bu Lestari sambil masuk ke kelas. Di
belakangnya, ada seorang laki-laki yang mengikutinya sambil menunduk. Para
murid yang sebelumnya bergerombol di salah satu meja untuk mendapatkan jawaban
matematika milik Amel pun segera berlarian menuju bangkunya masing-masing.
Amel
masih melamun, tak menyadari bahwa Bu Lestari sudah berada di dalam kelas.
Bahkan, ia juga masih tak menyadari ketika teman-teman perempuannya
berkasak-kusuk mengenai laki-laki yang datang bersama dengan Bu Lestari.
Intinya sih hanya satu, laki-laki itu tampan menurut mereka.
“Ini
ada murid baru pindahan dari Malang, silahkan perkenalkan diri Nak,” ucap Bu
Lestari sambil melihat ke laki-laki itu. Sontak, para siswi langsung melihat
dengan antusias ke depan kelas.
Sebelum
memperkenalkan diri, siswa baru ini menyunggingkan senyum manisnya terlebih
dahulu yang langsung disambut meriah oleh murid perempuan lainnya. Kasak-kusuk
yang sebelumnya pelan jadi lebih keras gara-gara senyum laki-laki itu, namun
Amel masih saja belum menyadari kebisingan yang terjadi di sekitarnya. Ia masih
terlarut dalam masa lalunya, masih tentang Fandy-nya.
“Assalamu’alaikum,
selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, namaku Raditya Widyantara. Bisa
dipanggil Radit, aku pindahan dari SMAN 3 Malang. Kuharap, kita bisa berteman
baik ya teman,” ucap laki-laki itu sambil tersenyum kecil. Kontan saja, semua
murid perempuan langsung ricuh karena senyum Radit yang tersungging lagi di
bibirnya.
“Baik,
cukup ya murid-murid perkenalannya, nanti kalian bisa mengobrol lebih jauh saat
istirahat. Nak Radit, kamu bisa duduk di..,” Bu Lestari melihat ke sekitar,
mencari-cari bangku yang tak bertuan agar Radit bisa duduk di sana. “Ah iya, di
sebelah Amelia ya,” lanjutnya. Desah kekecewaan terlontar dari berbagai sumber,
yang jelas itu semua adalah suara perempuan.
Radit
bingung, ia tak tahu Amelia itu yang mana. “Maaf Bu, Amelia itu yang mana ya?”
tanya Radit sopan.
“Itu
Nak, yang duduk nomor dua dari depan. Amelia, angkat tanganmu agar Radit bisa
menemukanmu,” ucap Bu Lestari sambil menghadap ke Amel. Namun, Amel masih belum
sadar juga, ia masih terlalu larut akan masa lalunya. Bahkan, matanya saja
sudah berair siap menumpahkan banjir bandang.
Retta,
perempuan yang duduk tepat di depan bangkunya pun langsung menepuk pundak Amel.
“Mel, dipanggil Bu Tari tuh,” ucapnya. Amel terkesiap, ia linglung karena semua
temannya melihat ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Ragu-ragu,
ia melihat ke depan.
“Iya
Bu? Ada apa memanggil saya?” tanya Amel dengan muka polos. Ia benar-benar tak
tahu apapun tentang apa yang terjadi saat ini. Namun, saat ia melirik ke murid
laki-laki yang berdiri di sebelah Bu Lestari, ia langsung kaget bukan main.
“Bukankah ia laki-laki yang menabrakku tadi pagi?” batinnya. Sama halnya dengan
Amel, Radit juga shock karena calon
teman sebangkunya adalah perempuan galak yang membentaknya tadi pagi.
“Nah
itulah Amel Nak, silahkan duduk. Kita mulai pelajaran hari ini,” ucap Bu
Lestari tanpa menjawab pertanyaan Amel. Beliau merasa tidak penting
menjawabnya, biarlah Amel sendiri yang berkenalan dengan Radit.
Amel
shock bukan main, mulutnya sampai
ternganga karena terlalu kaget. Bagaimana bisa ini terjadi padanya? Dia kan
duduk dengan Aulia. “Tapi Bu, saya kan sebangku dengan Aulia. Nanti dia duduk
dengan siapa Bu?” tanya Amelia frustasi. Ia tak mau jauh-jauh dari Aulia,
apalagi hanya karena laki-laki itu.
“Aulia?
Itu gampang, ia bisa duduk sebangku dengan Renata nantinya. Yang penting Nak
Radit duduk denganmu Amel,” jawab Bu Lestari singkat. Selepas itu, laki-laki
yang sebatas ia ketahui bernama Radit itu melangkah ke bangku di sebelahnya. Refleks, Amel menggeser kursinya agar
lebih jauh dari Radit meski masih terhitung dekat. Untuk saat ini, ia alergi pada
laki-laki. Moodnya yang sudah buruk
sejak pagi jadi makin hancur gara-gara hal ini. Apakah nantinya akan ada
sesuatu yang lebih buruk lagi dari ini? Batin Amel menghindari tatapan Radit
yang menghunjam ke arahnya.
**
Hari
ini, tepat satu tahun berlalu dari peristiwa itu. Peristiwa di mana Amelia
dipertemukan dengan Radit, seorang laki-laki tengil yang akhir-akhir ini sering
membuatnya berdebar tak tahu mengapa. Amelia berjalan sendirian di koridor
sambil menunduk, terdengar berbagai sorak sorai kawan-kawannya yang begitu
senang karena Ujian Nasional hari terakhir telah mereka lewati. Banyak di
antara mereka yang ingin segera pergi berlibur untuk merefresh pikiran yang beberapa bulan ini dipaksa untuk mengingat
keseluruhan materi. Sementara itu, Amel tak tertarik akan pokok bahasan mereka.
Ia ingin segera sampai di rumah untuk belajar materi Ujian Saringan Masuk PKN
STAN. Ya, di sana lah cita-citanya nanti usai lulus dari sini. Ia tak ingin
menyia-nyiakan waktunya lagi seperti dulu.
Derap
langkah berat mendekati Amel dari belakang, jalannya sedikit tergesa karena
ingin segera mencapai perempuan itu.
“Hai
Mel, mau langsung pulang ya?” sapa orang itu sambil menjajari langkah Amel dan
menyunggingkan senyum manis.
“Eh,
iya nih Dit. Kenapa memangnya?” tanya Amel lumayan kaget juga. Karena awalnya
ia mengira tak akan bertemu dengan Radit untuk hari ini.
“Begini,
aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Sekalian refresh pikiran gitu lah, mau nggak?” tanya Radit dengan sorot mata
ragu. Selama ini, Amelia selalu menolak bila diajaknya jalan-jalan. Kali ini,
harapan besar telah ia pertaruhkan, bila hari ini Amel masih saja menolak ajakannya
maka ia sudah bertekad untuk mulai melupakan rasa tak bertuan yang
menghampirinya sejak lama ini.
“Hmm..
not bad lah, ke mana Dit?” jawab
Amelia setelah menimang-nimang agak lama. Menurutnya, boleh juga refresh untuk hari ini dan mulai belajar
besok pagi.
“Ke
suatu tempat Mel, bagus banget. Aku yakin kamu pasti suka deh,” jawab Radit
antusias. Jantungnya berdetak lebih cepat dan matanya berbinar-binar bahagia.
“Sok
tau dehh, emang kamu tau tempat apa yang aku suka?” tantang Amel sambil
tersenyum miring. Ia sengaja ingin menjahili laki-laki menyebalkan yang tanpa
disadari telah mengambil hatinya perlahan.
“Eh?
Emm,” wajah Radit memerah. Ia takut kalau rahasianya selama ini terbongkar
gara-gara ucapannya barusan. “Jangan kepedean! Aku cuman ngira-ngira aja kok
barusan,” jawab Radit akhirnya setelah mencari kata-kata yang tepat untuk
membalas pertanyaan Amelia.
“Hmm
okay Tuan Radit. Bring me everywhere just
for today,” jawab Amelia malu-malu. Wajahnya nampak memerah meski susah
payah ia tutupi.
“Tenang
aja Nona, tempat ini gak akan mengecewakan kamu kok, InshaAllah,” jawab Radit
sambil tersenyum lebar. Kebahagiaan telah menyelimuti kedua sejoli ini,
terlihat dari paras mereka yang berseri-seri.
“Aku
tau Dit, selama ini kamu selalu mengikutiku setiap pulang sekolah hingga
jalanan depan rumahku. Aku juga tau kalau kamu selalu mengintai setiap
kegiatanku di mana pun aku berada. Dan aku juga tau kalau kamu diam-diam
memotretku dari kejauhan, entah untuk apa. Aku sudah tau sejak dulu Dit, tapi
aku tak ingin membuatmu malu dan berhenti melakukannya karena awalnya aku tak
tau apa tujuanmu melakukan ini semua. Menguras energi dan waktumu hanya untuk
mengikutiku diam-diam tanpa menyapaku. Namun, akhir-akhir ini aku mulai sadar
akan sesuatu karena sikapmu berubah begitu manis kepadaku. Semua informasi ini
memang tak kudapat dengan cuma-cuma, karena ada seorang teman yang kumintai
tolong untuk memperhatikanmu dan ternyata inilah kenyataannya. Entahlah ini
benar atau tidak, tapi aku ingin mengatakannya.
Bukankah
awalnya kau membenciku karena sikapku yang selalu apatis terhadapmu dan di awal
perkenalan kita sudah ada api yang tersulut gara-gara kau menabrakku di hari
pertamamu berada di sekolah ini? Aku amat tau akan hal ini Dit, semuanya
terlihat gamblang dari sikapmu terhadapku yang berbeda dengan sikapmu terhadap
teman perempuan lain. Awalnya aku memang tak peduli akan apapun yang kau
lakukan, tapi entah kenapa sikapmu itu membuatku luluh. Mungkin, kau akan
tertawa bila mendengarku berbicara seperti ini secara langsung, namun inilah
kenyataan yang terjadi. Entah kenapa di setiap gerak-gerikmu yang apatis dan
sombong itu membuatku merasa diistimewakan. Dan aku juga tak tahu sejak kapan
aku menyimpan rasa mendalam ini padamu, meski aku berusaha untuk tak
menghiraukannya tapi rasa ini terus saja bersemayam dalam hati tanpa ingin
pergi dari sana.
Senyummu
padaku memang tak menawan seperti pada teman-teman yang lain. Namun aku tau,
bahwa matamu tak bisa berbohong. Tersirat sesuatu mendalam di sana dan aku
menyadarinya meski tak pernah kubicarakan denganmu karena waktu itu kita masih
bermusuhan yang entah berawal dari mana. Namun seiring berjalannya waktu,
nampaknya kau tak lagi membenciku seperti dulu. Kau mulai menunjukkan
perasaanmu yang sebenarnya meski sedikit. Berulang kali kau mengajakku untuk
jalan berdua selalu saja kutolak, karena aku tak ingin konsentrasiku pada ujian
yang selama ini kubangun menjadi buyar karena dalam otakku selalu ada dirimu.
Aku tau kau kecewa terhadap penolakanku yang berulang kali, namun aku tetap
berusaha berpegang teguh pada keputusanku saat itu. Hingga hari ini terjadi.
Hari di mana kamu mengajakku ke suatu tempat, hanya berdua, jauh dari keramaian
kota. Dan di sana lah kau menyatakan seluruh kebenaran yang ada. Aku tau saat
ini akan segera tiba, meski aku tak menyangka bahwa hari ini lah yang kau pilih
untuk mengatakannya. Namun intinya, aku sangat bahagia dapat dipertemukan
denganmu. Hanya kamu, laki-laki yang mencuri hatiku perlahan, Raditya
Widyantara.”
Panjang....
BalasHapusPasti menulisnya semangat banget ya
Pas lagi mood nulis kak wid hihi ^^ terima kasih kak udah mampir 😉
HapusSubhanallah safina... kamu memang keren. Bahasamu enak dibaca...
BalasHapusMasih perlu banyak belajar mas wakhid, punya njenengan lebih keren sangat 🙏 terima kasih mas udah mampir 🙏 ^^
Hapus