Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Selepas bel tanda
berakhirnya pelajaran hari ini berbunyi, Shefa segera merapikan peralatan sekolahnya.
Ia sangat ingin sendiri hari ini, pikirannya sejak tadi tak bisa konsentrasi
untuk mengerjakan essay. Untung saja
di menit-menit terakhir dewi fortuna berpihak kepadanya, inspirasi datang
begitu saja dan ia menyelesaikan essaynya
hanya dalam waktu lima belas menit. Sedangkan teman-temannya, yang sejak awal
jam pelajaran Bahasa Indonesia sudah sibuk mencari materi untuk dijadikan essay saja belum kelar hingga saat ini.
Gerutuan keras terlontar dari berbagai mulut yang belum bisa menyelesaikan essaynya ketika Shefa mengumpulkan
miliknya di meja guru.
Shefa berjalan
menunduk sambil mengutak-atik ponselnya, ia menghubungi mamanya untuk
menanyakan apakah bisa menjemputnya sekarang ini atau tidak. Baru saja dua
menit berlalu, ponsel Shefa sudah berbunyi tanda ada pesan masuk. Ternyata,
mamanya tak bisa menjemputnya sekarang karena sedang ada arisan ibu-ibu PKK,
sedangkan ayahnya jam segini pasti belum pulang. Ia menghela napas berat, udara
semakin dingin dan langit terlihat semakin mendung. Shefa merapatkan jaketnya
untuk mengurangi rasa dingin yang tiba-tiba menyergap. Namun,
BRUK!
“HEI!” teriakan
itu terdengar keras di telinga Shefa, namun ia tak bisa melihat dengan jelas
siapa orang yang baru saja menabraknya. Pandangannya kabur seketika, sebelum
semuanya terlihat gelap dan kesadarannya menurun. Kata-kata terakhir yang
sempat didengarnya hanyalah, “Lah, pingsan?” dan itu diucapkan oleh seseorang yang
menabraknya tadi.
**
Berangsur-angsur,
Shefa mulai sadar lagi. Orang pertama yang ada di depan matanya adalah
laki-laki itu. Lelaki yang selalu membuat jantungnya berdetak lebih keras dan
membuat hidupnya lebih berwarna. Akhirnya, kesadarannya pulih seratus persen
dan ia bisa melihat dengan jelas isi ruangan ini. Ruang yang dikenalinya
sebagai kamar rawat UKS sekolahnya. Di belakang laki-laki itu, ada laki-laki
lain yang berdiri di belakangnya. Wajahnya terlihat familiar, namun Shefa tak
kenal dengannya. Ia memandang laki-laki itu tajam, berusaha mengingat sesuatu
namun tak ada ingatan apapun yang merujuk pada laki-laki yang berdiri di
belakang Sandi.
Mengenai Sandi,
dialah yang membuat Shefa kagum selama ini. Tiba-tiba Shefa tersadar, bila yang
membawanya ke UKS adalah dua laki-laki ini, maka.. Refleks, Shefa melihat bagian bawah tubuhnya, ikat pinggang serta
dasi biru dongkernya longgar, seragamnya juga terlihat kusut. Ia langsung mengambil
kesimpulan yang mungkin dan bergeser menjauh dari kedua laki-laki itu. Pikiran
negatifnya tak bisa dikontrol lagi, ia benar-benar takut saat ini. Sandi
sepertinya mengerti apa yang sedang ada di pikiran Shefa saat ini, ia tersenyum
menenangkan.
“Tenang saja,
kami tak menyentuhmu sama sekali Shefa, yang melakukan semuanya adalah Rania.
Namun ia baru saja pulang karena waktu piket di UKS sudah habis,” ucap Sandi
lembut. Pikiran Shefa sedikit tenang mendengarnya, namun meski begitu ia tetap
berjaga-jaga bila saja ada hal yang tak diinginkan terjadi padanya.
“Siapa yang
membawaku kemari? Dan, siapa laki-laki ini?” tanya Shefa dengan suara yang
masih serak. Sekilas, ia melihat penampilan laki-laki yang berdiri di belakang
Sandi. Wajahnya terlihat bosan, setiap beberapa detik sekali ia selalu melirik
jam di pergelangan tangan kirinya dan berdecak malas.
“Kamu belum kenal
dia ya? Kukira kalian sudah saling kenal. Ini Arfa, kelasnya XI-IPS 1, dia lah
yang membawamu kemari tadi,” jawab Sandi dengan senyum yang tak lepas dari
bibirnya.
“Jadi, kamu ya
yang nabrak aku tadi? Tanggung jawab!” ucap Shefa tegas. Ia ingin segera sampai
di rumah, dan menurutnya boleh juga menyuruh laki-laki itu untuk mengantarnya
pulang.
“Iya iya, kan gue
udah tanggung jawab nih, lo kan udah sehat wal’afiat lagi,” jawab Arfa malas.
“Yee, ya gak bisa
seenaknya gitu aja dong. Sekarang, anterin aku pulang! Baru itu bisa disebut
tanggung jawab,” tukas Shefa dengan wajah innocent,
ia sudah memperhitungkan bahwa laki-laki ini tak akan menurutinya langsung.
“Apa? Enak aja!
Kenal aja barusan udah minta anter pulang aja, kurang belaian ya Neng?” jawab
Arfa santai. Ia berpikir, Shefa adalah perempuan biasa yang sama saja seperti
yang lainnya. Menye-menye dan manja. Shefa tak pernah suka ada orang yang
merendahkannya seperti ini, di depan Sandi pula!
Dengan wajah
serius, Shefa turun dari tempat tidur dan menghampiri Arfa. Ia menatap Arfa
tepat di manik matanya, seolah ingin mentransfer seberapa banyak kemarahannya
saat ini. Perlahan namun pasti, tangan Shefa melayang keras di pipi Arfa.
Bunyinya terdengar keras, sepertinya sakit. Arfa hanya melongo, tak menyangka
bahwa Shefa berani menamparnya. Di mana harga diri laki-laki macam dia??
“Lo!” tunjuk Arfa
tepat di depan wajah Shefa, sepertinya setelah ini akan terjadi perang di UKS.
“Apa?” tantang
Shefa, tangannya dengan sigap menepis telunjuk Arfa yang sangat tak sopan. “Jangan
lo pikir gue cuman cewek menye-menye kayak cabe-cabean yang ada di kelas lo itu
ya! Sorry, gue jauh lebih bernilai
daripada itu,” ucap Shefa tegas. Ia menyempatkan diri untuk tersenyum sekilas
pada Sandi sebelum melenggang pergi dengan santai menuju luar UKS. Meninggalkan
Arfa yang dipenuhi rasa heran dan Sandi yang masih speechless. Sandi benar-benar tak menyangka bahwa perempuan yang ia
pikir kalem dan selalu ceria punya sisi mengerikan seperti itu.
**
“Shef! Shefaaa!”
teriak seorang laki-laki dari atas motornya. Saat itu, Shefa sedang berada di
halte menunggu bis yang mengarah ke rumahnya namun tak kunjung lewat sejak
tadi.
“Bareng aku aja
yuk, udah sore loh ini. Gak baik perempuan sendirian di sini sore-sore,” ucap laki-laki
itu sesampainya di depan Shefa. Shefa menatapnya lama, berusaha
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang didapatnya.
“Iya deh,” jawab
Shefa singkat.
Komentar
Posting Komentar