Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Unexpected Meeting-10

Selepas bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini berbunyi, Shefa segera merapikan peralatan sekolahnya. Ia sangat ingin sendiri hari ini, pikirannya sejak tadi tak bisa konsentrasi untuk mengerjakan essay. Untung saja di menit-menit terakhir dewi fortuna berpihak kepadanya, inspirasi datang begitu saja dan ia menyelesaikan essaynya hanya dalam waktu lima belas menit. Sedangkan teman-temannya, yang sejak awal jam pelajaran Bahasa Indonesia sudah sibuk mencari materi untuk dijadikan essay saja belum kelar hingga saat ini. Gerutuan keras terlontar dari berbagai mulut yang belum bisa menyelesaikan essaynya ketika Shefa mengumpulkan miliknya di meja guru.
Shefa berjalan menunduk sambil mengutak-atik ponselnya, ia menghubungi mamanya untuk menanyakan apakah bisa menjemputnya sekarang ini atau tidak. Baru saja dua menit berlalu, ponsel Shefa sudah berbunyi tanda ada pesan masuk. Ternyata, mamanya tak bisa menjemputnya sekarang karena sedang ada arisan ibu-ibu PKK, sedangkan ayahnya jam segini pasti belum pulang. Ia menghela napas berat, udara semakin dingin dan langit terlihat semakin mendung. Shefa merapatkan jaketnya untuk mengurangi rasa dingin yang tiba-tiba menyergap. Namun,
BRUK!
“HEI!” teriakan itu terdengar keras di telinga Shefa, namun ia tak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang baru saja menabraknya. Pandangannya kabur seketika, sebelum semuanya terlihat gelap dan kesadarannya menurun. Kata-kata terakhir yang sempat didengarnya hanyalah, “Lah, pingsan?” dan itu diucapkan oleh seseorang yang menabraknya tadi.
**
Berangsur-angsur, Shefa mulai sadar lagi. Orang pertama yang ada di depan matanya adalah laki-laki itu. Lelaki yang selalu membuat jantungnya berdetak lebih keras dan membuat hidupnya lebih berwarna. Akhirnya, kesadarannya pulih seratus persen dan ia bisa melihat dengan jelas isi ruangan ini. Ruang yang dikenalinya sebagai kamar rawat UKS sekolahnya. Di belakang laki-laki itu, ada laki-laki lain yang berdiri di belakangnya. Wajahnya terlihat familiar, namun Shefa tak kenal dengannya. Ia memandang laki-laki itu tajam, berusaha mengingat sesuatu namun tak ada ingatan apapun yang merujuk pada laki-laki yang berdiri di belakang Sandi.
Mengenai Sandi, dialah yang membuat Shefa kagum selama ini. Tiba-tiba Shefa tersadar, bila yang membawanya ke UKS adalah dua laki-laki ini, maka.. Refleks, Shefa melihat bagian bawah tubuhnya, ikat pinggang serta dasi biru dongkernya longgar, seragamnya juga terlihat kusut. Ia langsung mengambil kesimpulan yang mungkin dan bergeser menjauh dari kedua laki-laki itu. Pikiran negatifnya tak bisa dikontrol lagi, ia benar-benar takut saat ini. Sandi sepertinya mengerti apa yang sedang ada di pikiran Shefa saat ini, ia tersenyum menenangkan.
“Tenang saja, kami tak menyentuhmu sama sekali Shefa, yang melakukan semuanya adalah Rania. Namun ia baru saja pulang karena waktu piket di UKS sudah habis,” ucap Sandi lembut. Pikiran Shefa sedikit tenang mendengarnya, namun meski begitu ia tetap berjaga-jaga bila saja ada hal yang tak diinginkan terjadi padanya.
“Siapa yang membawaku kemari? Dan, siapa laki-laki ini?” tanya Shefa dengan suara yang masih serak. Sekilas, ia melihat penampilan laki-laki yang berdiri di belakang Sandi. Wajahnya terlihat bosan, setiap beberapa detik sekali ia selalu melirik jam di pergelangan tangan kirinya dan berdecak malas.
“Kamu belum kenal dia ya? Kukira kalian sudah saling kenal. Ini Arfa, kelasnya XI-IPS 1, dia lah yang membawamu kemari tadi,” jawab Sandi dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
“Jadi, kamu ya yang nabrak aku tadi? Tanggung jawab!” ucap Shefa tegas. Ia ingin segera sampai di rumah, dan menurutnya boleh juga menyuruh laki-laki itu untuk mengantarnya pulang.
“Iya iya, kan gue udah tanggung jawab nih, lo kan udah sehat wal’afiat lagi,” jawab Arfa malas.
“Yee, ya gak bisa seenaknya gitu aja dong. Sekarang, anterin aku pulang! Baru itu bisa disebut tanggung jawab,” tukas Shefa dengan wajah innocent, ia sudah memperhitungkan bahwa laki-laki ini tak akan menurutinya langsung.
“Apa? Enak aja! Kenal aja barusan udah minta anter pulang aja, kurang belaian ya Neng?” jawab Arfa santai. Ia berpikir, Shefa adalah perempuan biasa yang sama saja seperti yang lainnya. Menye-menye dan manja. Shefa tak pernah suka ada orang yang merendahkannya seperti ini, di depan Sandi pula!
Dengan wajah serius, Shefa turun dari tempat tidur dan menghampiri Arfa. Ia menatap Arfa tepat di manik matanya, seolah ingin mentransfer seberapa banyak kemarahannya saat ini. Perlahan namun pasti, tangan Shefa melayang keras di pipi Arfa. Bunyinya terdengar keras, sepertinya sakit. Arfa hanya melongo, tak menyangka bahwa Shefa berani menamparnya. Di mana harga diri laki-laki macam dia??
“Lo!” tunjuk Arfa tepat di depan wajah Shefa, sepertinya setelah ini akan terjadi perang di UKS.
“Apa?” tantang Shefa, tangannya dengan sigap menepis telunjuk Arfa yang sangat tak sopan. “Jangan lo pikir gue cuman cewek menye-menye kayak cabe-cabean yang ada di kelas lo itu ya! Sorry, gue jauh lebih bernilai daripada itu,” ucap Shefa tegas. Ia menyempatkan diri untuk tersenyum sekilas pada Sandi sebelum melenggang pergi dengan santai menuju luar UKS. Meninggalkan Arfa yang dipenuhi rasa heran dan Sandi yang masih speechless. Sandi benar-benar tak menyangka bahwa perempuan yang ia pikir kalem dan selalu ceria punya sisi mengerikan seperti itu.
**
“Shef! Shefaaa!” teriak seorang laki-laki dari atas motornya. Saat itu, Shefa sedang berada di halte menunggu bis yang mengarah ke rumahnya namun tak kunjung lewat sejak tadi.
“Bareng aku aja yuk, udah sore loh ini. Gak baik perempuan sendirian di sini sore-sore,” ucap laki-laki itu sesampainya di depan Shefa. Shefa menatapnya lama, berusaha mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang didapatnya.
“Iya deh,” jawab Shefa singkat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

Unexpected Meeting-8

Aku suka mendung di langit, tapi tidak di matamu. ** Saat itu, Shefa sedang duduk di bangku koridor depan kelasnya sambil membaca novel sendirian. Namun, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Awalnya Shefa tak menghiraukan laki-laki itu, karena dia sedang fokus untuk membaca novel karangan penulis favoritnya yang baru saja rilis. Ia juga sama sekali tak menengok sekadar untuk tahu siapa laki-laki itu. Ia sangat tak peduli. "Shef? Shefaa?" laki-laki itu mengibaskan tangannya di depan wajahku. Shefa yang merasa terganggu pun akhirnya melirik sedikit ke arahnya. “Kamu? Ngapain di sini??” tanya Shefa histeris, ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki menyebalkan ini. “Aku kan murid baru di sini, jadinya belum banyak tahu tentang sekolah. Jadi yaa, aku duduk di sini aja dehh. Deket sih dari kelasku,” laki-laki itu menjawabnya sambil tersenyum manis sebenarnya, namun yang Shefa rasakan hanyalah senyum kemunafikan. Shefa tak membalas uca...

Hanya Percaya

Desing mesin kendaraan bermotor menyeruak di tengah kedamaian pagi. Membelah embun yang masih sibuk bercengkrama. Sang mentari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya. Seorang gadis berjilbab putih dengan tas ransel berwarna hitam serta tas jinjing berisi laptop yang juga berwarna hitam sedang mengarungi lautan embun pagi itu bersama ayahnya. Rok abu-abunya melambai-lambai tertiup angin, gadis itu segera merapatkan jaket tebal yang juga berwarna hitam untuk mengurangi rasa dingin yang menyergapnya tiba-tiba. Jalanan yang mereka lewati menuju tempat gadis itu menimba ilmu masih sama, tak ada yang berbeda. Namun entah kenapa pagi ini, perasaan gadis itu terasa berbeda ketika lewat sana. Seperti ada sesuatu yang hilang, meski ia tak tau apakah itu. Gadis itu menghela napas berat, ia merasa bosan dengan pola hidupnya yang hanya begini-begini saja. Ia ingin ada variasi dalam hidupnya, tapi tak tahu harus berbuat apa. Sekilas, ia melihat ke ufuk timur, di mana matahari mulai beraksi memp...