Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Shefa mandi
dengan terburu buru, bahkan hampir lupa untuk melepaskan pakaiannya. Setelah
selesai, ia langsung
mengenakan seragam, dan memoles diri dengan tergesa. Tak lupa, Shefa juga memakai jam tangan kesayangannya yang berwarna pink.
Tapi
saat ia melihat jam, ternyata masih pukul 6. Shefa terheran heran, bukankah
tadi kata mama sudah jam setengah 7?
Refleks, ia pun melihat
jam dinding yang menggantung di atas meja belajarnya. Di sana pun sama, masih
pukul 6. Ia mengernyit sedikit, yang salah jam dindingnya,
atau mamanya ya? Shefa
pun segera mengambil tasnya dan keluar kamar, mencari mamanya yang ternyata
sedang menyiapkan sarapan.
"Ma, katanya
tadi sudah jam setengah 7, tapi di jam kamarku kok masih jam 6?" tanya
Shefa sambil duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan.
"Loh iya to?" tanya mama Shefa
sambil melihat jam dinding yang menggantung di dapur. "Tuh udah jam
setengah 7 lebih,” jawab mama Shefa
sambil senyum senyum.
"Yaampun mamaa jam itu kan emang baterainya abis dari duluu,” Shefa gemas sambil mulai memakan nasi goreng favoritnya.
"Oiyaa deh mama lupa, sudah sudah,
cepat habiskan sarapanmu, katanya piket,”
jawab mama Shefa sambil tersenyum lebih lebar.
Ayah Shefa hanya geleng geleng kepala
sambil tersenyum mengetahui tingkah istrinya yang usil terhadap putrinya
sendiri.
"Shefi mana mah? Kok belum nongol
juga?" tanya Shefa.
"Shefi gak enak badan dari kemaren
Shefa, dia absen hari ini,” jawab mama
Shefa.
"Oh,”
jawab Shefa singkat.
Shefi adalah kembarannya Shefa, lebih
tepatnya Shefi adalah adiknya. Menurut orang-orang,
Shefa dan Shefi sangatlah mirip, meskipun keduanya sangat menyangkal hal
tersebut. Mereka berdua berbeda sekolah, Shefa sekolah di SMA Negeri 1 sedangkan Shefi sekolah di SMA Negeri 5.
**
Shefa sampai di sekolah pada pukul 06.25,
jarak rumahnya ke sekolah memang tidak terlalu jauh. Hanya
membutuhkan waktu 10 menit saja ia sudah sampai di sekolah.
"Belajarnya yang serius ya nak,
jangan banyak celometan,” ucap ayah Shefa sebelum putri sulungnya itu keluar dari mobil.
"Iya ayah. Assalamu'alaikum,” jawab Shefa
sambil mencium tangan ayahnya. Setelah itu,
ia langsung keluar dari mobil dan menuju gerbang sekolah yang masih belum terlalu ramai seperti biasa.
Shefa berjalan gontai menuju kelasnya,
XI-MIPA 1. Sesampainya di kelas,
ia langsung duduk di bangkunya seperti biasa, yaitu di
sebelah Revi. Tetapi nampaknya Revi masih belum datang karena tas tosca itu
belum ada di kursi sebelahnya. Keadaan
kelas juga masih cukup sepi, padahal sekarang sudah jam setengah
7. Shefa pun langsung mengambil sapu dan mulai menyapu kelasnya. Setelah
menyapu, ia juga mengisi spidol dan membersihkan papan tulis.
Suasana kelas yang awalnya hening, tiba-tiba saja
ramai karena sesuatu. Semacam ada benda padat yang berat berlari-lari di
koridor, sudah gitu benda itu nabrak tempat sampah lagi.
"SHEFAAAA!!!!!" itu suara Revi.
Dia berlari-lari dari ujung lorong dan saat akan masuk kelas dia
sempat menabrak tempat sampah di depan kelasnya hingga menjadikan lantainya
kotor lagi.
"Apaan sih Rev? Udah teriak teriak
aja pagi pagi, nabrak tempat sampah pula, bersihin! Habis
aku sapu tau!!" Shefa langsung nyerocos kesal karena
lantainya kotor lagi gara-gara Revi yang gak hati-hati
"KENAPA LU GAK ACCEPT LINE NYA RADIT!
GILA APA LU COGAN GITU LO SIA-SIAIN!"
teriak Revi murka.
"Heh! Ngomong biasa aja bisa kali gausah
teriak teriak! Pencemaran suara tau gak!" jawab Shefa agak membentak, ia
sungguh kesal karena pagi-pagi begini sudah disuguhi sarapan yang gak
mengenakkan macam Radit.
"Wait
wait! Gue capek abis lari lari, bawa minum gak Shef?"
jawab Revi dengan nafas tak teratur dan memegangi jantungnya, dari luar tapi.
"Yee dasar! Salah sendiri lari lari! Noh ambil aja di tas, aku mau ngebersihin sampah yang kamu jatuhin dulu,”
jawab Shefa sambil mengambil sapu lagi dan membersihkan koridor kelas untuk yang kedua kalinya.
Setelah selesai menyapu, Shefa pun masuk
kelas dan langsung disambut oleh suara toa milik
Revi.
"Shefaaa kenapa lu kemarin gak accept line nya Radit?? Dia tuh mau kenalan sama lo tau gakk!! Lo tuh
harusnya bersyukur soalnya Radit kan ganteng banget tauu!! Udah gitu tajir, putih, tinggi, wihh perfect deh pokoknya! Masa ya lu cuekin
gitu aja sih! Kan dia cuman mau kenalan, udah bagus tau ada yang mau deketin
lu!" cerocos Revi dengan suara cemprengnya tanpa titik koma.
"Oh, gitu? Tapi gue gak pengen kenal
tuh,” jawabnya singkat lalu
duduk di bangkunya dengan santai.
Ia mengutak-atik ponselnya sebentar,
lalu memasang earphone di
telinganya sambil bersenandung kecil.
"Shefa! Gue belum selesai
ngomong!" ucap Revi agak kesal juga melihat tingkah laku Shefa yang masa
bodo mengenai cowok.
"Ya lanjutin,” jawab Shefa singkat sambil membaca buku biologinya.
"Ih Shefa dengerin gue dulu!"
ucap Revi makin kesal.
"Iya ini aku juga
dengerin. Cepetan ngomong!" jawab Shefa masih fokus ke buku paket
biologinya. Padahal hari ini tidak ada ujian apa-apa.
"Ih gue serius Shefa!" jawab
Revi sangat kesal dengan muka cemberut.
"Gue juga serius! Cepet ngomong!
Kalo gak penting gak usah!” jawab Shefa
ketus karena merasa terganggu akan ocehan Revi yang kadang gak bermutu.
"Kenapa lu gak accept
Radit?" jawab Revi sambil mengontrol emosinya. Punya
sahabat macam Shefa memang harus ekstra sabar menghadapinya, bila tidak, bisa
bisa dia sudah terkena darah tinggi.
"Males komunikasi sama tuh cowok,” jawab Shefa masih fokus ke bukunya.
"Lah, emang udah kenal? Udah pernah
ketemu?" tanya Revi bingung.
"Yap,”
jawab Shefa masih tak peduli.
"Kapan? Di mana?" tanya Revi
lagi, kali ini binar matanya terlihat cerah. Ia benar-benar penasaran bagaimana bisa Shefa mengenal Radit, padahal kan Shefa gak peduli sama cowok.
"Kemaren, di Bukit Daun,” jawab Shefa sambil melirik sahabatnya itu sekilas
lalu fokus membaca lagi.
"Hah? Kok bisa? Kok lu gak bilang
gue kalo ketemu Radit sih kemaren?
Yaampun gue udah lama gak ketemu diaa, pengen banget ketemuu. By the way kok
lu bisa ngobrol sama dia juga? Ih lu udah kenal lama ya sama dia? Atau jangan
jangan selama ini lu itu mantannya dia? Jawab Shef jawabb!!" ucap
Revi berapi api.
Shefa pun memutar bola matanya kesal,
niat hati ingin belajar materi biologi, tapi sahabatnya ini malah nyerocos gak penting masalah Radit.
"Yaa
kurasa gak penting aja buat nyeritain masalah Radit. Dan satu hal, aku
baru kemarin kenal Radit, puas?" jawab Shefa dengan muka datar.
"Ya tapi kan harusnya lu
ceri.."
The
first lesson will be started in five minutes.
"Udah ya Rev, gak usah bahas Radit! Sekarang fokus
belajar,” jawab Shefa mengakhiri perdebatan gak penting di pagi hari itu.
Ditunggu lanjutannya
BalasHapusSiapp kakk, makasih banyak udah mampirr^^
Hapus