Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
“Makasih ya udah
diantar pulang. Maaf ngerepotin,” ucap Shefa sedikit malu. Ia merasa selama ini
terlalu jahat pada laki-laki ini, tapi yasudahlah yang lalu biarlah berlalu.
“Gak masalah, aku
pulang dulu ya Shef,” jawab laki-laki itu sambil tersenyum simpul. Kali ini,
senyumnya agak berbeda. Terkesan suram.
Sepeninggal
laki-laki itu, Shefa langsung memasuki rumahnya dengan wajah letih. Ia
benar-benar butuh istirahat. Dalam sehari ini, begitu banyak kejadian tak
terduga yang mengalir begitu saja di hidupnya.
“Assalamu’alaikum,
Shefa pulangg,” ucap Shefa lesu. Mamanya yang sedang berada di dapur menjawab
salam Shefa dari kejauhan lalu langsung tergopoh-gopoh menghampiri untuk
menanyakan kondisinya. Maklum, tadi pagi Shefa memang sudah mengeluh agak tak
enak badan.
“Ma, Shefa tidur
dulu ya. Ntar waktu Maghrib bangunin Shefa yaa,” Shefa berkata dengan lirih
sambil berjalan perlahan menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Kepalanya
mendadak pusing lagi, meski tak separah tadi siang. Sesampainya di kamar, Shefa
langsung melemparkan tasnya dengan asal lalu tanpa basa-basi lagi ia
menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Hingga Sang Dewa Oneiroi membawanya ke
alam mimpi untuk sejenak melupakan masalahnya yang belum terselesaikan.
**
“Daf, ayo bermain
denganku!” ucap seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun dengan
gaya rambut yang culun dan kacamata tebal bertengger di hidungnya yang mancung.
“Ayo, main apa
nih?” jawab seorang anak perempuan yang masih berusia delapan tahun, rambut
panjangnya yang sering diikat aneh-aneh oleh ibunya kini dibiarkan tergerai
bebas.
“Emm, gimana
kalau main Donal Bebek saja?” anak laki-laki itu menatap teman perempuannya dengan
mata berbinar.
“Bagaimana
caranya? Aku gak pernah main kayak gitu,” jawab anak perempuan itu sambil mengernyitkan
dahinya. Maklum, ia jarang bermain meski usianya masih kanak-kanak. Ia lebih
senang belajar dan membaca buku daripada bermain dengan kawan sebayanya.
“Begini loh Daf,
nanti ada nyanyiannya seperti ini Donal
Bebek, maju satu langkah. Mundur tiga langkah. Satu dua tiga. Nah nanti
kita hompipah siapa yang menang ntar bisa Dji Sam Soe,” jawab anak laki-laki
itu sambil membenahi kacamatanya yang sedikit merosot.
“Dji Sam Soe itu
kayak gimana?” tanya anak perempuan itu lagi. Ia makin bingung karena tak
pernah tahu permainan seperti ini sebelumnya.
“Duh Dafiaa, kamu
tuh hidup di planet mana sih selama ini? Masa gitu aja nggak tauu,” sang anak
laki-laki kesal juga karena teman perempuannya itu susah memahami permainan yang
akan mereka mainkan bersama. Tapi, ia tetap mencoba bersabar. “Begini deh,
panggil dulu kembaran kamu. Ntar kita main bareng-bareng,” sambung anak
laki-laki itu setelah berpikir sejenak.
“Okay deh, tunggu
yaa Ditya,” sahut anak perempuan itu lalu berlari kecil ke rumahnya yang tak
jauh dari sana.
**
Shefa berjalan
gontai memasuki sekolahnya. Langkahnya terasa tersendat dan pikirannya masih
campur aduk. Bukan tentang tugas ataupun ujian sih, karena semua tugas telah
diselesaikannya semalam. Dan tentang ujian, ia juga tak perlu bingung karena
hari ini tak ada mata pelajaran yang akan mengadakan ujian.
“Hay Shefa,
pagi-pagi kok udah ngelamun aja? Masih kepikiran yang kemarin ya?” sapa
seseorang sambil menepuk pundak Shefa perlahan. Nampaknya, seseorang ini sangat
mengerti kondisi Shefa.
“Eh, kamu San.
Kukira siapa, enggak sih udah nggak kepikiran. Udah lupa malah ehehe,” jawab
Shefa cengengesan. Ia mencoba untuk tersenyum selebar mungkin di hadapan
laki-laki yang dikaguminya.
“Lah, udah lupa?
Masa iya sih? Jangan-jangan kamu lupa juga kalau kemaren nampar pentolannya
sekolah ini?” tanya Sandi dengan dahi berkerut-kerut. Namun, senyum manis nan
rupawan tak pernah singgah dari bibir tipisnya.
“Pentolan
sekolah? Ohh, ternyata itu ya yang sering dibicarain cewek-cewek?” tanya Shefa
baru paham. Pantas saja ia merasa familiar dengan wajah laki-laki tak sopan itu
meski tak kenal, ternyata teman-teman perempuannya sering membicarakan
laki-laki itu di kelas.
“Lah, baru tau ya?
Ke mana aja sih Sheff, dari kelas sepuluh juga tuh anak udah bikin rame
sekolahan kalii,” jawab Sandi sambil meringis. Sandi tak menyangka bahwa ada
pula cewek yang tak kenal dengan Arfa.
“Aku sih gak
peduli lah ya tentang gosip-gosip gak penting kayak gitu. Sok-sok an terkenal
deh, emang apa sih bagusnya dia?” jawab Shefa santai. Pikirannya saat ini
terasa lebih rileks karena ada yang mengajaknya berbincang-bincang dengan
santai, laki-laki ini pula.
“Wahh hebat deh
kamu gak ikut-ikutan ngefans sama Arfa. Biasanya nih ya, sekali cewek ketemu
Arfa pasti langsung gabung deh tuh ke Fansclubnya
Arfa. Kecuali temen-temen sekelasnya sihh,” jawab Sandi sambil tersenyum
senang, matanya berbinar. Entah karena apa.
“Cih, cowok kayak
dia tuh gak pantes buat dikagumin!” jawab Shefa sambil tersenyum miring. “Yang
pantas dikagumin itu kamu, Sandi,” lanjut Shefa dalam hati. Tentu saja ia tak
berani untuk berkata terus terang seperti itu.
“Duhh, siapa sih
yang gak pantes buat dikagumin Shef? Kok gak dengar ya aku,” ucap seseorang
dari belakang mereka berdua. Refleks, Sandi dan Shefa pun langsung menengok ke
arah orang itu. Sandi melotot, namun Shefa tetap santai. Ia sudah tau apa yang
akan dilakukannya, ia juga sudah sangat siap.
Komentar
Posting Komentar