Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Unexpected Meeting-11

“Makasih ya udah diantar pulang. Maaf ngerepotin,” ucap Shefa sedikit malu. Ia merasa selama ini terlalu jahat pada laki-laki ini, tapi yasudahlah yang lalu biarlah berlalu.
“Gak masalah, aku pulang dulu ya Shef,” jawab laki-laki itu sambil tersenyum simpul. Kali ini, senyumnya agak berbeda. Terkesan suram.
Sepeninggal laki-laki itu, Shefa langsung memasuki rumahnya dengan wajah letih. Ia benar-benar butuh istirahat. Dalam sehari ini, begitu banyak kejadian tak terduga yang mengalir begitu saja di hidupnya.
“Assalamu’alaikum, Shefa pulangg,” ucap Shefa lesu. Mamanya yang sedang berada di dapur menjawab salam Shefa dari kejauhan lalu langsung tergopoh-gopoh menghampiri untuk menanyakan kondisinya. Maklum, tadi pagi Shefa memang sudah mengeluh agak tak enak badan.
“Ma, Shefa tidur dulu ya. Ntar waktu Maghrib bangunin Shefa yaa,” Shefa berkata dengan lirih sambil berjalan perlahan menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Kepalanya mendadak pusing lagi, meski tak separah tadi siang. Sesampainya di kamar, Shefa langsung melemparkan tasnya dengan asal lalu tanpa basa-basi lagi ia menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Hingga Sang Dewa Oneiroi membawanya ke alam mimpi untuk sejenak melupakan masalahnya yang belum terselesaikan.
**
“Daf, ayo bermain denganku!” ucap seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun dengan gaya rambut yang culun dan kacamata tebal bertengger di hidungnya yang mancung.
“Ayo, main apa nih?” jawab seorang anak perempuan yang masih berusia delapan tahun, rambut panjangnya yang sering diikat aneh-aneh oleh ibunya kini dibiarkan tergerai bebas.
“Emm, gimana kalau main Donal Bebek saja?” anak laki-laki itu menatap teman perempuannya dengan mata berbinar.
“Bagaimana caranya? Aku gak pernah main kayak gitu,” jawab anak perempuan itu sambil mengernyitkan dahinya. Maklum, ia jarang bermain meski usianya masih kanak-kanak. Ia lebih senang belajar dan membaca buku daripada bermain dengan kawan sebayanya.
“Begini loh Daf, nanti ada nyanyiannya seperti ini Donal Bebek, maju satu langkah. Mundur tiga langkah. Satu dua tiga. Nah nanti kita hompipah siapa yang menang ntar bisa Dji Sam Soe,” jawab anak laki-laki itu sambil membenahi kacamatanya yang sedikit merosot.
“Dji Sam Soe itu kayak gimana?” tanya anak perempuan itu lagi. Ia makin bingung karena tak pernah tahu permainan seperti ini sebelumnya.
“Duh Dafiaa, kamu tuh hidup di planet mana sih selama ini? Masa gitu aja nggak tauu,” sang anak laki-laki kesal juga karena teman perempuannya itu susah memahami permainan yang akan mereka mainkan bersama. Tapi, ia tetap mencoba bersabar. “Begini deh, panggil dulu kembaran kamu. Ntar kita main bareng-bareng,” sambung anak laki-laki itu setelah berpikir sejenak.
“Okay deh, tunggu yaa Ditya,” sahut anak perempuan itu lalu berlari kecil ke rumahnya yang tak jauh dari sana.
**
Shefa berjalan gontai memasuki sekolahnya. Langkahnya terasa tersendat dan pikirannya masih campur aduk. Bukan tentang tugas ataupun ujian sih, karena semua tugas telah diselesaikannya semalam. Dan tentang ujian, ia juga tak perlu bingung karena hari ini tak ada mata pelajaran yang akan mengadakan ujian.
“Hay Shefa, pagi-pagi kok udah ngelamun aja? Masih kepikiran yang kemarin ya?” sapa seseorang sambil menepuk pundak Shefa perlahan. Nampaknya, seseorang ini sangat mengerti kondisi Shefa.
“Eh, kamu San. Kukira siapa, enggak sih udah nggak kepikiran. Udah lupa malah ehehe,” jawab Shefa cengengesan. Ia mencoba untuk tersenyum selebar mungkin di hadapan laki-laki yang dikaguminya.
“Lah, udah lupa? Masa iya sih? Jangan-jangan kamu lupa juga kalau kemaren nampar pentolannya sekolah ini?” tanya Sandi dengan dahi berkerut-kerut. Namun, senyum manis nan rupawan tak pernah singgah dari bibir tipisnya.
“Pentolan sekolah? Ohh, ternyata itu ya yang sering dibicarain cewek-cewek?” tanya Shefa baru paham. Pantas saja ia merasa familiar dengan wajah laki-laki tak sopan itu meski tak kenal, ternyata teman-teman perempuannya sering membicarakan laki-laki itu di kelas.
“Lah, baru tau ya? Ke mana aja sih Sheff, dari kelas sepuluh juga tuh anak udah bikin rame sekolahan kalii,” jawab Sandi sambil meringis. Sandi tak menyangka bahwa ada pula cewek yang tak kenal dengan Arfa.
“Aku sih gak peduli lah ya tentang gosip-gosip gak penting kayak gitu. Sok-sok an terkenal deh, emang apa sih bagusnya dia?” jawab Shefa santai. Pikirannya saat ini terasa lebih rileks karena ada yang mengajaknya berbincang-bincang dengan santai, laki-laki ini pula.
“Wahh hebat deh kamu gak ikut-ikutan ngefans sama Arfa. Biasanya nih ya, sekali cewek ketemu Arfa pasti langsung gabung deh tuh ke Fansclubnya Arfa. Kecuali temen-temen sekelasnya sihh,” jawab Sandi sambil tersenyum senang, matanya berbinar. Entah karena apa.
“Cih, cowok kayak dia tuh gak pantes buat dikagumin!” jawab Shefa sambil tersenyum miring. “Yang pantas dikagumin itu kamu, Sandi,” lanjut Shefa dalam hati. Tentu saja ia tak berani untuk berkata terus terang seperti itu.
“Duhh, siapa sih yang gak pantes buat dikagumin Shef? Kok gak dengar ya aku,” ucap seseorang dari belakang mereka berdua. Refleks, Sandi dan Shefa pun langsung menengok ke arah orang itu. Sandi melotot, namun Shefa tetap santai. Ia sudah tau apa yang akan dilakukannya, ia juga sudah sangat siap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah da...

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah...