Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Rinduku
percuma, sekalipun kau mengetahuinya
tetap hanya aku yang merasa.
**
Shefa berjalan
kalem menuju kelasnya, meninggalkan berbagai tatapan orang-orang yang tak bisa
diartikan. Sandi juga ikut terdiam di sana, bahkan Arfa sekalipun. Mereka
berdua hanya bisa melongo melihat kepergian Shefa tanpa berusaha untuk
mengejarnya.
Sesampainya di
kelas, Shefa menuju bangkunya seperti biasa. Suasana kelas masih lumayan sepi,
teman-teman sekelasnya belum begitu banyak yang sampai di sekolah padahal jam
sudah menunjukkan pukul 06.30. Amelia, tetangga kelasnya yang heboh dan biang
gosip itu masuk ke kelas Shefa dengan tergopoh-gopoh sambil kepalanya
celingukan melihat ke sana-ke mari.
“Nyari apaan sih
Mel? Kayak rentenir aja,” ucap Sheila teman sekelas Shefa yang kebetulan kenal
Amelia ini dari ekstrakurikuler paduan suara.
“Ntar deh Sheil
tunggu,” sahut Amelia tak sabar, kepalanya masih saja celingukan. “Nah itu tuh
yang gue cari,” lanjut Amelia tiba-tiba lalu masuk ke kelas Shefa dengan
hentakan keras di sepatunya tiap ia melangkah. Langkahnya mengarah ke tempat di
mana Shefa duduk saat itu. Sedangkan yang dituju, malah asyik memainkan
ponselnya sambil bersenandung kecil.
“Heh cabe-cabean!”
teriak Amelia sambil menggebrak meja Shefa keras. Sontak seluruh murid yang ada
di kelas itu mengalihkan perhatiannya ke Amelia yang tiba-tiba membuat
keributan di kelas mereka. Shefa yang tak merasa bahwa dirinya cabe-cabean pun
tak menghiraukan Amelia sama sekali. Ia masih asyik memainkan ponselnya, seolah
tak merasakan aura jahat yang ada di sekitarnya.
“Heh! Udah cabe,
budek juga ya lo!” teriak Amelia makin berang. Baru kali ini ia menemui
perempuan yang tak takut saat dibentaknya keras. Dan Shefa, masih saja
bergeming tak menghiraukan teriakan Amelia.
“DASAR CABE,
TULI! ORANG TUA LO GAK PERNAH NGAJARIN LO CARA NGOMONG YA? JADI ORANG TUA KOK
GAK BECUS KAYAK GITU SIH,” teriak Amelia sekali lagi dengan keras. Namun kali
ini, Shefa kehabisan kesabarannya. Ia tak pernah suka ada orang yang menghina
orang tuanya.
“Apa lo bilang
tadi? Coba ulangin!” ucap Shefa sambil perlahan berdiri, teman-teman Shefa yang
semenjak tadi berdiam diri melihat kicauan Amelia mulai ketar-ketir. Mereka
tahu tabiat Shefa, ia sangat benci ada yang menyinggung tentang keluarganya.
Mereka takut Shefa akan kehilangan kontrol akan dirinya saat ini.
“OHH, MINTA
ULANGIN YA? TADI GUE BILANG ORANG TUA LO ITU GAK PERNAH YA NGAJARIN LO CA..”
PLAK! Dugaan
teman-teman Shefa terjadi juga. Tangan Shefa sudah melayang keras mendarat di
pipi Amelia yang terlapisi bedak tebal serta blush on. Amelia shock,
selama ini tak pernah ada yang berani menamparnya hingga seperti ini. Perempuan
pula!
Tak sampai di
situ saja, Shefa yang sudah terlanjur terbakar amarahnya pun memegang dagu
Amelia dengan kasar. “TAHU APA LO TENTANG HIDUP GUE! MENDING SEKARANG LO CEPET
KELUAR DARI KELAS INI, GAK USAH GANGGU HIDUP GUE LAGI! ATAU..” Shefa memelankan
suaranya.
“ATAU APA HAH?” Amelia
yang pada dasarnya tak mau mengalah malah menantang Shefa. Dagunya diangkatnya
tinggi-tinggi.
“Atau hidup lo
gak bakal pernah tenang,” jawab Shefa lirih, namun sanggup membuat
teman-temannya merinding karena ucapannya.
“Ehm, ehm. Begini
ya Mel, lo kan bukan anggota kelas ini. Lo juga gak punya hak buat gangguin
kelas ini dengan cara lo itu, jadi mending sekarang lo keluar deh dari sini.
Daripada bikin semua murid di sini mual liat tingkah lo itu,” ucap Reyhan
tiba-tiba. Reyhan adalah ketua dari kelas ini, maka dari itu ia berhak untuk
mengusir siapa pun yang mengganggu ketenangan di dalam kelasnya.
“Hah? Apa? Lo?
Ngusir gue? Cih! Punya kuasa apa lo di sini? Papa gue nih ya, Ketua Komite
Sekolah ini dan udah dipercaya sama Kepsek. Jangan macem-macem ke gue deh
kalian para rakyat jelata, salah-salah ntar di DO deh kalian duhh kasiaann,”
ucap Amelia menyepelekan. Wajahnya sangat menyebalkan, sikapnya benar-benar
angkuh dan minta diberi pelajaran. Ia selalu saja menggunakan ayahnya sebagai
tameng agar dia ditakuti oleh murid-murid di sekolah.
“AMEL! CUKUP
DRAMANYA, SEKARANG MENDING KITA PERGI!” ucap suara keras dari ambang pintu
kelas. Ia adalah Arfa. Wajah Arfa terlihat memerah dan tangannya mengepal,
mungkin ia malu melihat kelakuan Amel yang tak tahu diri hanya demi dia.
“Tapi kan, a..akuu,”
“CUKUP MEL,
KELUAR!” teriak Arfa lagi. Matanya berkilat-kilat karena marah. Dan tak
disangka-sangka, Amel mau menuruti kemauan Arfa. Ia melirik sinis ke semua
murid di kelas sebelum melangkah keluar dengan hentakan keras mengiringi langkahnya.
“Alhamdulillahhhh,”
teriak semua murid yang ada di dalam kelas, terkecuali Shefa yang masih
berusaha mengendalikan emosinya. Tiba-tiba, Revi masuk ke dalam kelas dengan
wajah panik. Ia langsung menghampiri Shefa dengan terburu-buru.
“Shef! Sumpah ini
yang gue dengar barusan itu lo?” tanya Revi buru-buru sesampainya di meja
mereka berdua.
“Emang kamu habis
dengerin apaan Rev?” tanya Shefa polos. Dia tak ingin mengungkit-ungkit sesuatu
yang sudah terjadi. Namun sayangnya, berita tentang hal ini tentu cepat
menyebar dari mulut ke mulut di sekolahnya yang rata-rata memiliki siswi perempuan
biang gosip.
“Kamu.. Habis
bikin malu Arfa di depan banyak murid ya? Trus, Amelia nyamperin buat bales
dendam? Iya kan?” tanya Revi mendesak Shefa untuk segera menjawab. Sedangkan
yang ditanya, hanya tersenyum kecil menanggapinya sambil mengangguk.
“Motivasi kamu
kayak gitu itu apaan sih Shef? Kamu gak kayak biasanya deh,” ucap Revi
terkejut. Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa Shefa melakukan itu?
“Memangnya kamu
tahu apa tentang aku? Kita baru kenal hampir dua tahun kan? Kamu gak tahu Rev
apa yang terjadi padaku sebelum kita ketemu. Dan kamu gak bakal ngerti gimana
perasaanku!” ucap Shefa tegas. Revi yang tak tahu apa-apa bingung juga karena
malah kena marah. Untungnya, Shefa masih bisa mengontrol emosinya, ia tak ingin
cepat tua hanya karena masalah sepele seperti ini.
Revi sepertinya
juga mengerti bagaimana perasaan Shefa yang sedang kalut. Ia memilih untuk diam
dan membiarkan Shefa menenangkan diri terlebih dahulu. Bila Shefa nanti sudah
siap, pasti ia akan menceritakan semuanya. Revi yakin hal ini.
“Ditya.. Aku butuh Dityaku yang dulu. Ke mana
perginya kamu Ditya?” batin Shefa sambil menelungkupkan wajahnya ke meja.
Bayangan tentang masa lalunya yang indah bersama Ditya tiba-tiba terlintas
begitu saja di otaknya. Shefa, sangat rindu pada sahabat kecilnya itu.
Komentar
Posting Komentar