Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Unexpected Meeting-12

Rinduku percuma, sekalipun kau mengetahuinya
tetap hanya aku yang merasa.
**
Shefa berjalan kalem menuju kelasnya, meninggalkan berbagai tatapan orang-orang yang tak bisa diartikan. Sandi juga ikut terdiam di sana, bahkan Arfa sekalipun. Mereka berdua hanya bisa melongo melihat kepergian Shefa tanpa berusaha untuk mengejarnya.
Sesampainya di kelas, Shefa menuju bangkunya seperti biasa. Suasana kelas masih lumayan sepi, teman-teman sekelasnya belum begitu banyak yang sampai di sekolah padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.30. Amelia, tetangga kelasnya yang heboh dan biang gosip itu masuk ke kelas Shefa dengan tergopoh-gopoh sambil kepalanya celingukan melihat ke sana-ke mari.
“Nyari apaan sih Mel? Kayak rentenir aja,” ucap Sheila teman sekelas Shefa yang kebetulan kenal Amelia ini dari ekstrakurikuler paduan suara.
“Ntar deh Sheil tunggu,” sahut Amelia tak sabar, kepalanya masih saja celingukan. “Nah itu tuh yang gue cari,” lanjut Amelia tiba-tiba lalu masuk ke kelas Shefa dengan hentakan keras di sepatunya tiap ia melangkah. Langkahnya mengarah ke tempat di mana Shefa duduk saat itu. Sedangkan yang dituju, malah asyik memainkan ponselnya sambil bersenandung kecil.
“Heh cabe-cabean!” teriak Amelia sambil menggebrak meja Shefa keras. Sontak seluruh murid yang ada di kelas itu mengalihkan perhatiannya ke Amelia yang tiba-tiba membuat keributan di kelas mereka. Shefa yang tak merasa bahwa dirinya cabe-cabean pun tak menghiraukan Amelia sama sekali. Ia masih asyik memainkan ponselnya, seolah tak merasakan aura jahat yang ada di sekitarnya.
“Heh! Udah cabe, budek juga ya lo!” teriak Amelia makin berang. Baru kali ini ia menemui perempuan yang tak takut saat dibentaknya keras. Dan Shefa, masih saja bergeming tak menghiraukan teriakan Amelia.
“DASAR CABE, TULI! ORANG TUA LO GAK PERNAH NGAJARIN LO CARA NGOMONG YA? JADI ORANG TUA KOK GAK BECUS KAYAK GITU SIH,” teriak Amelia sekali lagi dengan keras. Namun kali ini, Shefa kehabisan kesabarannya. Ia tak pernah suka ada orang yang menghina orang tuanya.
“Apa lo bilang tadi? Coba ulangin!” ucap Shefa sambil perlahan berdiri, teman-teman Shefa yang semenjak tadi berdiam diri melihat kicauan Amelia mulai ketar-ketir. Mereka tahu tabiat Shefa, ia sangat benci ada yang menyinggung tentang keluarganya. Mereka takut Shefa akan kehilangan kontrol akan dirinya saat ini.
“OHH, MINTA ULANGIN YA? TADI GUE BILANG ORANG TUA LO ITU GAK PERNAH YA NGAJARIN LO CA..”
PLAK! Dugaan teman-teman Shefa terjadi juga. Tangan Shefa sudah melayang keras mendarat di pipi Amelia yang terlapisi bedak tebal serta blush on. Amelia shock, selama ini tak pernah ada yang berani menamparnya hingga seperti ini. Perempuan pula!
Tak sampai di situ saja, Shefa yang sudah terlanjur terbakar amarahnya pun memegang dagu Amelia dengan kasar. “TAHU APA LO TENTANG HIDUP GUE! MENDING SEKARANG LO CEPET KELUAR DARI KELAS INI, GAK USAH GANGGU HIDUP GUE LAGI! ATAU..” Shefa memelankan suaranya.
“ATAU APA HAH?” Amelia yang pada dasarnya tak mau mengalah malah menantang Shefa. Dagunya diangkatnya tinggi-tinggi.
“Atau hidup lo gak bakal pernah tenang,” jawab Shefa lirih, namun sanggup membuat teman-temannya merinding karena ucapannya.
“Ehm, ehm. Begini ya Mel, lo kan bukan anggota kelas ini. Lo juga gak punya hak buat gangguin kelas ini dengan cara lo itu, jadi mending sekarang lo keluar deh dari sini. Daripada bikin semua murid di sini mual liat tingkah lo itu,” ucap Reyhan tiba-tiba. Reyhan adalah ketua dari kelas ini, maka dari itu ia berhak untuk mengusir siapa pun yang mengganggu ketenangan di dalam kelasnya.
“Hah? Apa? Lo? Ngusir gue? Cih! Punya kuasa apa lo di sini? Papa gue nih ya, Ketua Komite Sekolah ini dan udah dipercaya sama Kepsek. Jangan macem-macem ke gue deh kalian para rakyat jelata, salah-salah ntar di DO deh kalian duhh kasiaann,” ucap Amelia menyepelekan. Wajahnya sangat menyebalkan, sikapnya benar-benar angkuh dan minta diberi pelajaran. Ia selalu saja menggunakan ayahnya sebagai tameng agar dia ditakuti oleh murid-murid di sekolah.
“AMEL! CUKUP DRAMANYA, SEKARANG MENDING KITA PERGI!” ucap suara keras dari ambang pintu kelas. Ia adalah Arfa. Wajah Arfa terlihat memerah dan tangannya mengepal, mungkin ia malu melihat kelakuan Amel yang tak tahu diri hanya demi dia.
“Tapi kan, a..akuu,”
“CUKUP MEL, KELUAR!” teriak Arfa lagi. Matanya berkilat-kilat karena marah. Dan tak disangka-sangka, Amel mau menuruti kemauan Arfa. Ia melirik sinis ke semua murid di kelas sebelum melangkah keluar dengan hentakan keras mengiringi langkahnya.
“Alhamdulillahhhh,” teriak semua murid yang ada di dalam kelas, terkecuali Shefa yang masih berusaha mengendalikan emosinya. Tiba-tiba, Revi masuk ke dalam kelas dengan wajah panik. Ia langsung menghampiri Shefa dengan terburu-buru.
“Shef! Sumpah ini yang gue dengar barusan itu lo?” tanya Revi buru-buru sesampainya di meja mereka berdua.
“Emang kamu habis dengerin apaan Rev?” tanya Shefa polos. Dia tak ingin mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah terjadi. Namun sayangnya, berita tentang hal ini tentu cepat menyebar dari mulut ke mulut di sekolahnya yang rata-rata memiliki siswi perempuan biang gosip.
“Kamu.. Habis bikin malu Arfa di depan banyak murid ya? Trus, Amelia nyamperin buat bales dendam? Iya kan?” tanya Revi mendesak Shefa untuk segera menjawab. Sedangkan yang ditanya, hanya tersenyum kecil menanggapinya sambil mengangguk.
“Motivasi kamu kayak gitu itu apaan sih Shef? Kamu gak kayak biasanya deh,” ucap Revi terkejut. Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa Shefa melakukan itu?
“Memangnya kamu tahu apa tentang aku? Kita baru kenal hampir dua tahun kan? Kamu gak tahu Rev apa yang terjadi padaku sebelum kita ketemu. Dan kamu gak bakal ngerti gimana perasaanku!” ucap Shefa tegas. Revi yang tak tahu apa-apa bingung juga karena malah kena marah. Untungnya, Shefa masih bisa mengontrol emosinya, ia tak ingin cepat tua hanya karena masalah sepele seperti ini.
Revi sepertinya juga mengerti bagaimana perasaan Shefa yang sedang kalut. Ia memilih untuk diam dan membiarkan Shefa menenangkan diri terlebih dahulu. Bila Shefa nanti sudah siap, pasti ia akan menceritakan semuanya. Revi yakin hal ini.
Ditya.. Aku butuh Dityaku yang dulu. Ke mana perginya kamu Ditya?” batin Shefa sambil menelungkupkan wajahnya ke meja. Bayangan tentang masa lalunya yang indah bersama Ditya tiba-tiba terlintas begitu saja di otaknya. Shefa, sangat rindu pada sahabat kecilnya itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah da...

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah...