Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

ODOP? MY HERO

Aku termenung di pojokan kelas. Pelajaran telah usai beberapa menit yang lalu dan guru yang mengajar pun sudah meninggalkan kelas. Beberapa teman perempuanku berkumpul di pojokan kelas yang lain sambil tertawa-tawa, entahlah mereka sedang menertawakan apa, ku tak ingin peduli. Dari balik tirai jendela ini, aku bisa melihat dunia kecil nan asri dari atas. Jujur, inilah moodboosterku. Pemandangan taman kecil yang didesain cantik dengan banyak pepohonan benar-benar memanjakan mataku, rasa-rasanya aku seperti mendapatkan inspirasi untuk menulis.
Hmm, menulis? Akankah aku akan menulis lagi? Akankah aku berani mempublikasikan karyaku lagi? Tidak. Aku sudah merasa cukup tercampakkan dari dunia wattpad karena hal ini. Sebenarnya dulu aku sempat memposting cerita buatanku di aplikasi baca gratis itu. Lumayan sih, ada pula yang mau membaca cerita abal-abalku itu, yah sekitar 150 orang. Namun semenjak ada haters yang selalu menghujat karyaku, pembaca setiaku pun mulai berkurang dan semakin berhenti, hingga akhirnya di postingan terakhirku tidak ada yang membaca sama sekali. Sedih memang, kecewa tentu, tapi apa yang bisa kulakukan? Kurasa tidak ada.
Hari demi hari terus berlalu dan aku menjalaninya dengan perasaan hambar. Aku senang membaca sejak kecil, semenjak aku bisa membaca, setiap harinya ibuku selalu membelikanku buku baru untuk dibaca. Tentu saja membaca adalah makanan wajib bagiku setiap harinya. Lalu apa hubungannya dengan menulis? Begini, dulu saat aku masih duduk di Sekolah Dasar, aku pernah diikutkan lomba menulis cerita pendek dan ternyata aku dapat memenangkannya. Semenjak itu, aku mulai terobsesi di dunia menulis. Namun sekarang, aku takut untuk berkarya lagi. Aku takut karyaku tidak disukai orang-orang. Apakah sikapku ini salah? Mungkin saja kalian menganggapku begitu, namun benar itulah yang terjadi. Sebenarnya aku tidak benar-benar berhenti dari dunia menulis sih, aku tetap berusaha untuk aktif menulis di tengah-tengah jadwal padat kelas 12 SMA. Awalnya aku masih aktif menulis, namun lama-lama frekuensi waktu menulisku pun mulai berkurang karena fokusku terserap di organisasi yang aku tekuni. Sebenarnya aku hanya mengikuti 1 organisasi di sekolah, yaitu PRAMUKA. Namun, gara-gara lomba dance Kegiatan Tengah Semester lalu, pembina dance di sekolahku pun jadi melirikku untuk diikutkan lomba dance bersama anak didiknya. Sebenarnya aku tidak bisa dance, saat itu aku dan teman-teman kelasku hanya berpartisipasi saja agar kelas kami tidak mendapat denda, namun ternyata alhamdulillahnya kami mendapat juara 3. Senang juga sih sebenarnya, tapi ya itu, fokusku jadi terbelah-belah dan ini membuatku harus semakin menekan waktu belajarku, apalagi waktu menulisku.
Hari ini aku baru sampai di rumah tercintaku pada pukul 6, padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak pukul 3 tadi. Kalian tau kenapa? Tentu saja karena latihan dance yang tinggal H-14 lomba tapi gerakan yang akan ditampilkan belum lengkap. Oleh sebab itu aku harus sedikit lembur di sekolah untuk segera menyelesaikan gerakan yang belum lengkap itu. Sesampainya di rumah aku benar-benar lelah dan lapar, sehingga setelah mengganti pakaian seragamku dengan pakaian rumah biasa, aku langsung mengambil makanan agar perutku bisa segera terisi. Saat makan, ibuku bercerita bahwa ada open grup bagi yang ingin menjadi penulis, nama “ODOP”. Awalnya aku tidak percaya karena aku berfikir masa iya sih ada orang yang mau ngebimbing kita buat jadi penulis tanpa dibayar? Namun itu memang benar, ternyata teman ibuku saat di SMK dulu salah satu mentor di ODOP.
ODOP itu kependekan dari One Day One Post. Ketika mendengar bahwa komunitas ini benar-benar ada, aku langsung amat gembira. Aku bersyukur pada Allah karena telah menjawab doaku yang bertanya bahwa haruskah aku menulis lagi atau tidak. Di poster yang ada, tertulis bahwa peserta yang sudah terpilih diharuskan untuk memposting satu cerita setiap harinya. Setelah melihat itu, aku jadi pikir dua kali lagi. Apa aku bisa meluangkan waktuku untuk menulis cerita setiap hari? Padahal sekarang saat aku tidak pernah menulis cerita saja, belajarku masih keteteran dan sering ketiduran saat belajar. Namun, ibuku terus memotivasiku untuk ikut karena tak ada salahnya juga ikut komunitas ini. Selain dapat ilmu yang berlimpah, kalau udah lulus dari bimbingan ini pun aku jadi bisa nulis buku sendiri lagi. Selain impianku tercapai, aku juga jadi bisa kenal sama penulis-penulis hebat di negeri ini. Mendengar hal itu diucapkan oleh ibuku, aku jadi tersadar akan impian lamaku yang mungkin aku saja sempat lupa akan hal itu. Menerbitkan novel karangan sendiri, itu adalah impianku semenjak masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Namun hingga sekarang aku sudah duduk di bangku SMA pun, impian itu belum juga terwujud.

Aku bersyukur memiliki ibu yang benar-benar perhatian terhadap cita-cita dan bakat anaknya, aku jadi yakin untuk ikut komunitas ini. Semoga nantinya harapan dan impianku yang selama ini hanya menjadi angan dapat terwujud setelah aku mengikuti komunitas ODOP. Aku benar-benar berterima kasih kepada anda pencetus ODOP, tanpa komunitas ini, mungkin aku tidak pernah berani untuk mempublikasikan karyaku lagi. Semoga anda nantinya mendapat pahala yang berlimpah dari Allah Yang Maha Kuasa dan dibalas dengan kebaikan nantinya di surga. Aamiin.

Komentar

  1. Semoga bisa kembali menulis, jangan pedulikan para haters ya. mereka hanya bisa mencibir tanpa bisa erbuat sesuatu itu.

    BalasHapus
  2. Keren ini adik.
    Semangat terus ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasihh kakk sudah dijadikan salah satu keluarga ODOP ^^

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

Unexpected Meeting-8

Aku suka mendung di langit, tapi tidak di matamu. ** Saat itu, Shefa sedang duduk di bangku koridor depan kelasnya sambil membaca novel sendirian. Namun, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Awalnya Shefa tak menghiraukan laki-laki itu, karena dia sedang fokus untuk membaca novel karangan penulis favoritnya yang baru saja rilis. Ia juga sama sekali tak menengok sekadar untuk tahu siapa laki-laki itu. Ia sangat tak peduli. "Shef? Shefaa?" laki-laki itu mengibaskan tangannya di depan wajahku. Shefa yang merasa terganggu pun akhirnya melirik sedikit ke arahnya. “Kamu? Ngapain di sini??” tanya Shefa histeris, ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki menyebalkan ini. “Aku kan murid baru di sini, jadinya belum banyak tahu tentang sekolah. Jadi yaa, aku duduk di sini aja dehh. Deket sih dari kelasku,” laki-laki itu menjawabnya sambil tersenyum manis sebenarnya, namun yang Shefa rasakan hanyalah senyum kemunafikan. Shefa tak membalas uca...

Hanya Percaya

Desing mesin kendaraan bermotor menyeruak di tengah kedamaian pagi. Membelah embun yang masih sibuk bercengkrama. Sang mentari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya. Seorang gadis berjilbab putih dengan tas ransel berwarna hitam serta tas jinjing berisi laptop yang juga berwarna hitam sedang mengarungi lautan embun pagi itu bersama ayahnya. Rok abu-abunya melambai-lambai tertiup angin, gadis itu segera merapatkan jaket tebal yang juga berwarna hitam untuk mengurangi rasa dingin yang menyergapnya tiba-tiba. Jalanan yang mereka lewati menuju tempat gadis itu menimba ilmu masih sama, tak ada yang berbeda. Namun entah kenapa pagi ini, perasaan gadis itu terasa berbeda ketika lewat sana. Seperti ada sesuatu yang hilang, meski ia tak tau apakah itu. Gadis itu menghela napas berat, ia merasa bosan dengan pola hidupnya yang hanya begini-begini saja. Ia ingin ada variasi dalam hidupnya, tapi tak tahu harus berbuat apa. Sekilas, ia melihat ke ufuk timur, di mana matahari mulai beraksi memp...