Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Shefalia Anindita-Fatamorgana

Apakah ada yang salah denganku?
Apakah tutur kataku aneh?
Apakah sikapku tidak wajar?
Apakah aku kurang sopan?

Tidak.
Kata tante aku tidak bersalah.

Lalu,

Mengapa aku dijauhi?
Mengapa aku dianggap remeh?
Mengapa aku direndahkan?
Mengapa aku selalu dibully?
Mengapa aku tak pernah dianggap?
Mengapa Ya Allah?
**
"Assalamu'alaikum, selamat pagi murid-murid," ucap seorang guru berperawakan tinggi sambil memasuki sebuah kelas di SMA Harapan.
"Pagi buu," jawab beberapa murid dengan malas.
"Hari ini, ibu punya kabar baik untuk kalian."
"Kabar baik apa bu? Mau ngasih kita libur tambahan ya?" tanya seorang gadis berperawakan sedang dan berbaju ngetat sambil memainkan kukunya yang dilapisi kuteks jingga.
Guru tersebut hanya menggeleng singkat lalu berjalan ke arah pintu kelas.
"Mari masuk nak," ucap guru itu sambil berbicara dengan seseorang.
"Ba..baik bu"
Murid baru itu pun masuk ke dalam kelas dengan perlahan sambil menunduk. Ia tidak berani menatap sekelilingnya, entah kenapa.
"Baik murid-murid, ini adalah teman baru kalian, pindahan dari Jakarta. Silahkan perkenalkan diri kamu nak," ternyata di kelas tersebut ada murid baru.
"Perkenalkan, namaku Shefa," gadis itu menjawab dengan seperlunya saja.
Semua orang menatap Shefa dari tempat masing-masing, menunggu kelanjutan omongan Shefa.
Tetapi setelah ditunggu hingga 2 menit, Shefa tak mengucapkan sepatah kata pun.
"Baiklah, ada yang ditanyakan murid-murid?" guru itu berusaha memecahkan suasana hening yang ada.
Suasana sunyi senyap.
"Gak ada buu," sahut Alexa akhirnya mewakili teman-temannya.
"Baik kalau begitu, Shefa silahkan duduk di sana"
"I..iya bu," Shefa pun berjalan ke tempat duduknya sambil menunduk.
Ia masih tak berani menatap sekeliling.
It's time to have first break.
"Hay Shefa! Kenalin, namaku Rania," ucap seorang murid perempuan yang bertubuh agak gempal dan berjilbab panjang.
Shefa kaget dan gelagapan untuk menjawab, "Eh, ha..halo Rania".
"Kamu gak mau ke kantin Shef?" tanya Rania lagi.
"Eng..enggak deh. A..aku bawa bekal kok," Shefa menjawabnya dengan sangat kikuk, nampaknya dia sangat susah untuk beradaptasi.
"Oh gituu, yaudah aku ke kantin dulu yaa Shef," Rania pun tersenyum dan langsung melangkah pergi ke kantin.
"I..iya Rania,"
Terima kasih ya Allah, ternyata di sini muridnya ramah, alhamdulillah, semoga berkah dengan pindahnya aku ke sini. Akhirnya Shefa bisa bernafas lega.

Komentar

  1. Kita mulai di sini
    Saling genggam jemari
    Ucapkan janji
    Menjadi teman sejati

    :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah da...

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah...