Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Kisah Nyata Beribu Makna (1)

Lelah dan lapar. Hanya itu yang aku rasakan saat ini. Setelah sekian jam waktu yang ada kupakai untuk berlatih band kelasku. Sekitar 1 minggu lagi akan ada Kegiatan Tengah Semester di sekolahku. Di KTS kali ini ada berbagai lomba yang diselenggarakan, diantaranya adalah lomba band, pemilihan Putra Putri Idola Sekolah (PPIS), Story Telling, dan sebagainya. Setelah 3 minggu yang lalu ada pengumuman dan Technical Meeting tentang lomba-lomba, aku langsung dipilih untuk berpartisipasi dalam lomba band sebagai violis atau pemain biola serta dalam lomba pemilihan PPIS.
Sebenarnya aku sudah sangat lama tidak menyentuh biola lagi. Dulu aku sempat berlatih biola saat masih kelas 3 SD dan berhenti semenjak SMP karena mulai padatnya kegiatan sekolah. Namun mau bagaimana lagi, aku sudah dipercaya oleh teman-teman untuk mengikutinya. Setidaknya ini terjadi karena kelasku bisa mendapat juara 2 band di KTS tahun lalu, jadi mau tak mau aku harus mengingat lagi bagaimana penghayatan dalam bermain biola. Selain itu, aku juga harus membagi perhatianku ke lomba pemilihan PPIS. Sebenarnya teman sekelasku banyak yang juga yang pantas untuk ikut lomba ini, tapi begitulah teman sekelasku, berani berkata di belakang tapi gak berani untuk show up. Bahasa kasarnya sih “iso maido raiso ngelakoni”.
Dalam pemilihan PPIS ini terdapat 3 macam test, yang pertama adalah tes tulis, di tes ini yang dinilai adalah pengetahuan kita tentang sekolah, adiwiyata, dan kesehatan serta NARKOBA. Tes tulis ini sifatnya adalah uraian, saat itu aku belum siap untuk tes karena pihak panitia baru saja memberi tau bila hari itu ada tes saat pagi harinya. Aku yang saat itu belum siap hanya dapat menjawab sebisaku saja, mungkin hanya dapat sekitar 2 lembar HVS. Setelah tes tulis, ada juga tes wawancara, di sini kita semua sebagai peserta diwawancarai oleh juri tentang minat dan harapan kita untuk sekolah ke depannya apabila kita menjadi salah Putra Putri Idola maupun Duta yang lainnya. Di sini aku merasa percaya diri saja, karena memang dasarnya aku sudah dilatih tentang Public Speaking di organisasi yang kuikuti yaitu PRAMUKA. Setelah tes wawancara, diadakan tes bakat. Di sini semua peserta diwajibkan untuk menampilkan bakatnya masing-masing, dan saat itu tentunya aku menampilkan sedikit permainan biolaku di sana.
Sekitar 4 hari setelah semua tes selesai, pengumuman 10 besar finalis pemilihan PPIS pun diumumkan, tak kusangka ternyata namaku tertulis diantaranya. Pasanganku tidak lolos, jadi dari kelasku -XI IPA 1-  hanya akulah yang dapat melanjutkan seleksi selanjutnya. Dan sekarang di sinilah aku, merasa sangat letih setelah latihan koreo untuk PPIS yang langsung dilanjutkan dengan latihan band yang sangat menguras tenagaku hari ini.
6 hari berlalu begitu cepat, dan besok adalah hari penentuan bagi kelasku karena besok band kelasku akan tampil. Entah kenapa, teman-temanku satu band banyak yang merasa tidak percaya diri untuk tampil besok. Mereka merasa tidak akan bisa menang, padahal apabila belum dicoba siapa yang akan tau hasilnya bukan? Vocalis dari band kelasku kali ini adalah Vincent, suaranyalah yang dianggap paling bagus diantara kami setelah diadakan pemilihan vocalis  dadakan ala kami. Namun, Vincent ini tidak percaya diri apabila menyanyi sendirian, ia baru akan merasa ‘pede’ apabila duet saat bernyanyi. Kontan saja teman-temanku satu kelas langsung mengontak Fitri, mantan teman satu kelas kami. Dulunya saat kami masih duduk di kelas X, Fitri ini satu kelas dengan kami di X-1, namun saat kelas XI ia pindah ke kelas XI-IPA 6 dikarenakan sahabat karibnya berada di kelas itu. Dulunya sih Fitri lah yang menjadi vocalis dari band ini, namun karena ia sudah pindah kelas maka kami memilih orang lain menjadi penggantinya.

Namun sekarang ini, teman-teman satu kelasku memohon-mohon agar Fitri mau untuk menjadi vocalis dari  band kami ini. Fitri sih mau-mau saja, namun teman sekelas Fitri yang sekarang tidak terima apabila Fitri disuruh menjadi vocalis band kami padahal di kelasnya saja ia tidak mau. Entah kenapa teman-temanku tetap memaksakan agar Fitri bermain band bersama kami. Kontan saja aku tidak setuju, okey aku memang boleh diam saat mereka menghubungi Fitri dan memintanya menjadi vocalis. Namun bila teman sekelasnya saja tidak setuju, di mana harga diri kelas ini? Memangnya tidak ada orang lain yang bisa menggantikan Fitri ya? Teman-teman tetap tidak mendengarkanku dan malah berkata “lek gak enek Fitri ngko kelase adewe gak menang ngertio”. Sontak saja aku merasa sangat marah mendengarnya. Memangnya kita tidak bisa menang dengan kemampuan kita sendiri? Hari itu aku mengalami perdebatan sengit dengan teman-teman satu kelasku. Tidak ada yang memihakku sama sekali, mereka merasa keputusan mereka benar. Dan saat itu juga aku memutuskan berkata “lek kalian panggah ngerasa Fitri seng nggawe adewe menang, silahkan. Aku gak bakal maen sesok.

Kepo dengan lanjutannya? Hehe tunggu besok yaps!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah da...

Secuil Cerita Tentang ODOP dan Aku

Menulis. Sesuatu hal yang menurut beberapa orang mudah. Awalnya, aku pun merasa begitu karena semua beban yang ada di ubun-ubun bisa kutuangkan dalam tulisan. Meskipun bentuknya benar-benar awut-awutan dan jauh dari kata benar. Selama itu, aku masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu hal yang mudah sebelum kutemukan komunitas menulis paling keren yang benar-benar kucintai ini. One Day One Post . Awal memasuki komunitas ini, aku merasa ketar-ketir juga karena takut tak bisa konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya hari demi hari berlalu dan aku beserta 46 orang lainnya dinyatakan lulus dari ODOP. Tapi, perjuangan tak hanya sampai di situ saja. Masih ada materi untuk kelas lanjutan yang mewajibkan anggotanya untuk memilih antara fiksi atau non fiksi. Dan karena kesenanganku adalah berkhayal, maka aku pun memilih fiksi untuk menjadi kelanjutan studiku. Masuk di kelas fiksi, aku merasa benar-benar bodoh. Tulisanku jauh sekali di bawah kawan-kawan seperjuangan yang rata-rata sudah...