Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Ini lanjutan curahan hatiku yang kemarin ya, hehe ^^
Saat itu juga aku memutuskan berkata “lek kalian panggah ngerasa Fitri seng nggawe
adewe menang, silahkan. Aku gak bakal maen sesok.” Seketika umpatan kasar
tak berdasar pun terlontar dari mulut tajam mereka. Aku berusaha untuk
menulikan telingaku, ya, keputusanku sudah bulat dan aku tak akan merubah
keputusanku kali ini.
“Karep karepmu, egois
og dipek dewe”
“Ngeroso dibutuhne
cah-cah to? Heh we i duk opo-opo”
“Nyadar o to we i duk
opo-opo, rasah kakean polah”
Dan banyak lagi umpatan kasar lain yang mereka ucap, aku
terus berusaha untuk menahan. Di hari itu, aku sama sekali tidak diajak bicara
oleh mereka, aku pun merasa ogah
dengan mereka. Sempat kudengar pembicaraan mereka,
“Gak usah nyedek-nyedek cah wi neh, ketularan egois we ngko. Sawangen
ae, menang po ra dee wi ngko ndek pemilihan PPIS.”
Sebenarnya aku juga
merasa bingung, yang egois itu sebenernya yang mana ya? Mereka memaksakan
kehendak mereka ke Fitri dan mereka bilang aku yang egois? Kalau saja ada murid
dari kelasnya Fitri yang mendengar hal ini, aku yakin mereka lebih setuju pada
pendapatku. Tapi biarlah, setidaknya dosaku berkurang banyak dengan mereka
membenciku hihi.
Malamnya, saat aku bermain ponsel dan
membuka aplikasi Whatsapp, kulihat
mereka (band kelasku) sedang berlatih
bersama Fitri di studio yang biasa kami gunakan latihan. Mereka sama sekali tak
menganggap keberadaanku dan aku berusaha biasa saja akan hal itu. Besok
paginya, saat aku baru saja masuk kelas, teman-teman sekelasku tiba-tiba saja
keluar semua sambil berbisik-bisik kecil. Aku sama sekali tak
mempermasalahkannya, lebih baik kesempatan bagus ini kugunakan untuk berlatih public speaking saat wawancara umum
besok. Saat mereka bermain band pun
aku tak sudi untuk melihat, tentu saja di sana ada Fitri. Bukannya aku membenci
Fitri, tapi aku membenci keegoisan teman-teman yang memaksakan kehendaknya pada
Fitri. Setelah band tampil, mereka semua
masuk ke kelas sambil menyindirku, “Eh
uapik ya maeng band e, untung ae enek Fitri”, “Lha yo, untung enek Fitri”.
Mereka merasa percaya diri bahwa akan
memenangkan lomba band kali ini,
bahkan rekaman saat mereka bermain band barusan pun diputar bolak-balik di speaker kelasku keras-keras. Mereka
terus saja memuji kebagusan band
kelas meskipun kudengar suara Fitri dan Vincent saat itu tidak bisa menyatu,
sedikit fals, dan banyak kesalahan
lainnya. Ah biarlah, bukan urusanku lagi, untuk apa memikirkan sesuatu yang
tidak penting? Bukankah hanya akan memenuhi memori otakku saja?
Tepat pukul 12.00 WIB, ada pengumuman
dari pusat sekolah tentang juara dari setiap lomba yang nantinya akan tampil di
acara puncak KTS. Kebetulan acara puncaknya bersamaan dengan penampilan 5
pasang finalis PPIS serta wawancaranya. Pengumuman pertama dari lomba story telling dan lain-lain, sedangkan
lomba band disebutkan paling akhir. Teman-teman sekelasku
sudah percaya diri bahwa kali ini akan menang, namun nyatanya jauh dari harapan.
Band kami tidak lolos dan decak
kecewa banyak terdengar di kelasku ini. Seketika banyak pertentangan yang
terlontar dari mulut teman-temanku, mereka masih tidak percaya dengan penilaian
juri yang menurut mereka tidak adil. Saat itu aku sedang menyibukkan diri
dengan membaca novel favoritku, aku hanya tertawa dalam hati, karma going on, right? Buktinya meskipun
Fitri iku andil dalam band, kalian
tidak menang kan?
Entah kenapa saat itu aku merasa senang
di atas penderitaan temanku, kalian pikir aku jahat? Silahkan bandingkan mana
yang lebih jahat, aku atau temanku? Kalian pasti bisa menganalisisnya sendiri.
Memang yang kulakukan tidak sepenuhnya benar, tetapi yang mereka lakukan itu
sudah pasti jauh dari benar bukan? Pada akhirnya, banyak keluhan yang terlontar
dari teman sekelasku pun mulai reda dan mereka mulai beranjak pulang.
Hari ini, agenda sekolah adalah acara
puncak KTS. Dan aku, sebagai salah satu finalis 10 besar tentunya akan ber-make up ria. Yah, setidaknya untuk
sehari wajahku dapat terlihat lebih cantik bukan? Hihi. Aku tidak peduli
apabila hari ini pun aku akan disatru
oleh teman-temanku, tujuanku hanyalah agar kelas menang, tidak lebih dari itu. Hari
ini semuanya berjalan lancar, dan alhamdulillah latihanku selama ini untuk bisa
berjalan di atas heels setinggi 8 cm
pun berhasil. Itu terbukti dengan aku tidak jatuh atau kesrimpet saat mengenakan gaun panjang dan heels tinggi. Alhamdulillah..
Tiba saatnya pengumuman berlangsung, 5
pasang finalis pun menuju panggung karena akan dipasangkan selempang jabatan.
Tak kusangka, ternyata aku menjadi Duta Kesehatan kali ini. Aku sangat bahagia
karena dapat membawa nama kelasku di kejuaraan, aku tak peduli lagi tentang
teman-teman yang sedang membenciku karena mereka semua terlihat sama bahagianya
juga dengan kemenanganku kali ini.
Pada akhirnya, kami semua berbaikan
lagi, tidak ada dendam lagi diantara kita dan kesalahpahaman lain seperti
sebelumnya. Kelasku (sekarang XII-IPA 1) pun menjadi kelas terkompak dengan
murid yang paling sedikit, yaitu 23 hihi. Sekian atas keluh kesahku, terima
kasih sudah dibaca ^^
Alhamdulillah. Friend forever ya :)
BalasHapusSahabat selamanya... Yah, kalaupun di tengah jalan ada friksi, wajar2 aja... asal segera baikan dan no dendam.. :-D
HapusHihi iya alhamdulillah :) iya bener bang syaiha :D
HapusIni kisah pribadi kah?
BalasHapusHehe iya kak kisah pribadi ^^
Hapus