Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Kesenjangan Zaman

Rinai hujan yang setitik demi setitik membasahi bumi pertiwi tak lagi berarti. Ratusan prestasi sana sini tak lagi ternilai. Generasi baru yang lebih hafal logaritma daripada bahasa Jawa. Perlahan menggusur generasi lama yang buta aksara.

Ludruk, kethoprak, karawitan. Tak lagi ada yang mampu menguasainya. Cunduk Menur, Kecak, Saman. Tak lagi ada yang tertarik mempelajarinya. Puluhan cerita rakyat jelata yang turun temurun tak pernah habis masanya. Kini tak lagi ada yang tahu seluk beluknya.

Beragam etnis serta adat yang dahulunya diagungkan, bisa dibilang telah dilupakan. Ludruk yang dulunya menghiasi sudut sudut kota untuk dijadikan ajang berbagi rasa, kini tak lagi menarik hati para pemirsa. Karawitan yang dulunya musik favorit banyak kalangan, kini tak lagi diperdengarkan.

Hey, inikah yang namanya zaman modern? Inikah yang namanya zaman kejayaan? Puluhan ribu medali dibawa pulang namun tata krama pun semakin hilang. Bocah bocah kecil yang seharusnya mencari kawan malah enak enakan di rumah gaming sendirian. Bukan lagi gobak sodor, lompat tali, dan bola bekel yang jadi kesenangan, namun Arena of Valor, Mobile Legend, dan Clash Royale yang selalu dinantikan.

#TantanganODOP8

Komentar

Postingan populer dari blog ini

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri...

Unexpected Meeting-8

Aku suka mendung di langit, tapi tidak di matamu. ** Saat itu, Shefa sedang duduk di bangku koridor depan kelasnya sambil membaca novel sendirian. Namun, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Awalnya Shefa tak menghiraukan laki-laki itu, karena dia sedang fokus untuk membaca novel karangan penulis favoritnya yang baru saja rilis. Ia juga sama sekali tak menengok sekadar untuk tahu siapa laki-laki itu. Ia sangat tak peduli. "Shef? Shefaa?" laki-laki itu mengibaskan tangannya di depan wajahku. Shefa yang merasa terganggu pun akhirnya melirik sedikit ke arahnya. “Kamu? Ngapain di sini??” tanya Shefa histeris, ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki menyebalkan ini. “Aku kan murid baru di sini, jadinya belum banyak tahu tentang sekolah. Jadi yaa, aku duduk di sini aja dehh. Deket sih dari kelasku,” laki-laki itu menjawabnya sambil tersenyum manis sebenarnya, namun yang Shefa rasakan hanyalah senyum kemunafikan. Shefa tak membalas uca...

Hanya Percaya

Desing mesin kendaraan bermotor menyeruak di tengah kedamaian pagi. Membelah embun yang masih sibuk bercengkrama. Sang mentari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya. Seorang gadis berjilbab putih dengan tas ransel berwarna hitam serta tas jinjing berisi laptop yang juga berwarna hitam sedang mengarungi lautan embun pagi itu bersama ayahnya. Rok abu-abunya melambai-lambai tertiup angin, gadis itu segera merapatkan jaket tebal yang juga berwarna hitam untuk mengurangi rasa dingin yang menyergapnya tiba-tiba. Jalanan yang mereka lewati menuju tempat gadis itu menimba ilmu masih sama, tak ada yang berbeda. Namun entah kenapa pagi ini, perasaan gadis itu terasa berbeda ketika lewat sana. Seperti ada sesuatu yang hilang, meski ia tak tau apakah itu. Gadis itu menghela napas berat, ia merasa bosan dengan pola hidupnya yang hanya begini-begini saja. Ia ingin ada variasi dalam hidupnya, tapi tak tahu harus berbuat apa. Sekilas, ia melihat ke ufuk timur, di mana matahari mulai beraksi memp...