Langsung ke konten utama

Postingan

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Review Novel First Girl Karya Luna Torashyngu

Judul  : First Girl Penulis  : Luna Torashyngu Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tebal  : 280 halaman ISBN : 978-602-03-1753-3 Genre : Action Dalam novel kali ini, seperti biasa Kak Luna Torashyngu mengangkat tema yang tak biasa. Memang sih, genre action sudah biasa, tapi cara Kak Luna membuat berbagai karakter dengan konflik yang ada benar-benar membuat siapa pun yang membacanya akan ketagihan untuk terus membalik tiap lembaran buku itu hingga akhir cerita. Novel ini menceritakan tentang kehidupan Tiara yang awalnya hanya remaja biasa dan hobi hang-out bersama sahabat-sahabatnya. Namun, semuanya berubah ketika ayahnya terpilih menjadi presiden. Sebagai anak presiden, Tiara mendapat fasilitas pengamanan ketat dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sejak itu, kebebasan Tiara seolah terenggut. Saat hang-out dia selalu dikawal. Sebelum jajan di kantin, makanannya dicicipi lebih dulu oleh pengawalnya. Dan yang membuat Tiara bete , dia nggak bebas lagi ngecengin

A Pathetic Love

Gadis berambut sepinggang dengan aksesori serba  pink  itu menyusuri koridor sekolah tanpa semangat. Berulang kali ia menghela napas berat, seakan tak kuat menghadapi hari ini. Beberapa pasang mata melihatnya dengan pandangan sinis, hal ini semakin membuat gadis itu merasa malas berada di sekolah. Kini, ia sudah bertekad kuat bahwa tak akan menemui laki-laki itu lagi. Sekalipun dulu sebelum kepindahannya mereka adalah sahabat karib, namun semuanya sudah terasa lain. Manusianya sama, namun rasa di antara mereka sudah berbeda. Sedikit manis, banyak pahitnya. Berbagai kasak-kusuk yang menyebut nama ‘Valda’ didengarnya sejak tadi, namun sama sekali tak dihiraukannya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Gadis itu menghela napas lega ketika pintu kelasnya sudah semakin dekat, ia ingin segera masuk dan lepas dari pandangan mencemooh orang-orang di sekitarnya. Bukan semua orang memang, hanyalah kaum perempuan saja. Ketika ia memasuki kelas, hanya beberapa orang saja yang sudah datang. Seg

Malaikat Kecilku

“Reza! Jangan ambil uangku lagi! Kembalikan cepat!” teriak seorang gadis kecil dengan pakaian lusuh dan peluh yang menetes di dahinya. Tangan mungilnya berusaha menggapai tas kumal yang dibawa oleh anak laki-laki bertubuh bongsor yang berdiri di hadapannya. “Malas banget harus kembalikan uang ini ke kamu! Heh ingat ya, uangnya Bu Nadia itu uangku juga! Jadi mending kamu sekarang cepet pergi sini sebelum aku sobek-sobek tas bututmu ini!” hardik anak laki-laki yang diketahui bernama Reza itu sambil mendorong gadis di hadapannya hingga tersungkur. Wajahnya memerah dan bibirnya menyunggingkan senyum sinis ketika melihat gadis kecil di hadapannya tertunduk sedih. “Nih, kukembalikan tas kamu! Tapi, nggak ada isinya ya hahaha!” teriak Reza sambil melemparkan tas milik gadis itu yang memang sudah rusak sana sini. Merasa puas, ia pun beranjak pergi meninggalkan gadis malang itu sambil mengantongi uang hasil rampasannya dengan bangga. Gadis kecil berjilbab oranye itu hanya bisa meratapi

Hanya Percaya

Desing mesin kendaraan bermotor menyeruak di tengah kedamaian pagi. Membelah embun yang masih sibuk bercengkrama. Sang mentari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya. Seorang gadis berjilbab putih dengan tas ransel berwarna hitam serta tas jinjing berisi laptop yang juga berwarna hitam sedang mengarungi lautan embun pagi itu bersama ayahnya. Rok abu-abunya melambai-lambai tertiup angin, gadis itu segera merapatkan jaket tebal yang juga berwarna hitam untuk mengurangi rasa dingin yang menyergapnya tiba-tiba. Jalanan yang mereka lewati menuju tempat gadis itu menimba ilmu masih sama, tak ada yang berbeda. Namun entah kenapa pagi ini, perasaan gadis itu terasa berbeda ketika lewat sana. Seperti ada sesuatu yang hilang, meski ia tak tau apakah itu. Gadis itu menghela napas berat, ia merasa bosan dengan pola hidupnya yang hanya begini-begini saja. Ia ingin ada variasi dalam hidupnya, tapi tak tahu harus berbuat apa. Sekilas, ia melihat ke ufuk timur, di mana matahari mulai beraksi memp

Hanya Kamu

Waktu berlalu begitu cepat, dan sekarang ini sudah pukul 8 malam. Seorang gadis cantik dengan perawakan sedang dan bertubuh langsing itu baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri dari suatu masalah. Sebenarnya ini bukanlah masalah, bukan juga sesuatu yang harus segera diselesaikan. Namun, ini hanyalah takdir. Dan kali ini, takdir buruk lah yang menimpa gadis cantik ini. Berulang kali ia memijit pelipisnya, berusaha membuatnya lebih baik meskipun sebenarnya tak berpengaruh banyak. Kepalanya masih terasa pening dirundung kekecewaan. Ia ingin menangis, tapi tak ada cairan bening yang ingin keluar dari pelupuk matanya. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka ponselnya. Barangkali, di sana ada sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Sebenarnya ia ingin bermain game untuk sedikit menghibur dirinya sendiri, namun ia salah fokus ke chat whatsapp yang masuk dari salah satu adik kelasnya pramuka. Dulu, gadis ini me