Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.
Ketika hati mulai berkata,
terkadang otak tak berjalan sesuai rencana.
**
2 minggu setelah
kejadian itu, Revi makin tak punya banyak waktu untuk Shefa karena adanya
Kevin. Alhasil, Shefa selalu ke mana-mana sendirian. Beruntungnya,
laki-laki itu setia menemaninya ke mana pun.
Ya, laki-laki itu. Laki-laki yang memakai sepatu di depan ruang UKS tempo
hari. Laki-laki yang sempat membuat Shefa kagum hanya dengan memandangnya
sekali saja. Sungguh beruntung Shefa dapat berbincang dengannya setiap hari.
Beban rasanya langsung hilang saat melihat senyumnya. Sungguh menawan.
Apakah Shefa suka
dengannya? Belum, ia hanya kagum. Tunggu, apa
katanya tadi? Belum? Apakah mungkin
perasaannya akan berubah suatu hari nanti? Entahlah, Shefa tak mau berkhayal terlalu jauh.
**
"Hay Shef,
sendirian lagi?" tanya seseorang sambil menepuk bahu Shefa dari belakang.
"Eh,"
Shefa pun membalikkan badannya. "Hay San, iya nih biasaa,"
jawab Shefa sambil tersenyum malu. Entah kenapa saat ini jantungnya memompa
darah lebih cepat daripada biasanya.
"Aku temenin ya? Kamu
mau ke mana?" tanya seseorang yang dipanggil 'San' oleh Shefa tadi. Ia tersenyum, sangat manis. Lirikan sinis nan menusuk
pun seketika menghujam ke arah Shefa dari para perempuan yang lewat di koridor
itu.
"Emm nggak
usah, aku mau ke.."
"Jangan malu
gitu terus dong Shef, kan aku udah pernah bilang kalo aku seneng
bisa nemenin kamu. Aku
gak terpaksa, masa kamu gak
percaya?" laki-laki itu memotong perkataan Shefa sebelum Shefa sempat
menyelesaikannya.
"Tapi aku mau ke.."
"Ke mana pun
itu, aku tetep nemenin aku.
Okey?" potong laki-laki itu lagi.
"Ish,
dengerin dulu napa?" Shefa menghela nafas sebentar. "Aku mau ke toilet, mau nemenin kan? Ayo!" jawab
Shefa kemudian, dalam hatinya ia tertawa keras meski wajahnya
terlihat datar.
"E-eh? Ke..
toilet?" wajah laki-laki itu benar benar lucu, berkedip-kedip berulang kali menatap Shefa dengan wajah kaget
campur bingung. Menggemaskan sekali memang.
Jantung Shefa pun
terus berolahraga dengan cepatnya, sampai Shefa takut kalau laki-laki itu bisa
mendengar suara detak jantungnya itu.
"Kenapa?
Katanya mau nemenin aku ke mana
pun?" jawab Shefa tersenyum miring, berusaha bersikap biasa. Meski dalam hatinya ingin tertawa sekeras-kerasnya.
"Ah iya, emm
iya kamu jalan duluan aja,”
jawab laki-laki itu sambil mengaruk-garuk kepalanya dengan salah tingkah. Terlihat jelas
karena telinganya memerah.
Shefa pun
berjalan dengan acuh dan santai ke kamar mandi, sedangkan laki-laki itu
mengikutinya dari belakang. Lama kelamaan
langkah kaki Shefa semakin cepat, bahkan lari, entah kenapa ia ingin iseng pada
lelaki itu.
"Shefaa
tungguin!" teriak lelaki itu. Sontak
pandangan semua perempuan yang ada di koridor itu menghujam ke arah mereka
berdua.
"Kejar dong
wlekk,” Shefa
memasang muka ter-nyebelinnya sambil cengengesan.
BRUK!
"ADUH!"
Gara-gara tak memperhatikan depan, alhasil Shefa
sukses nabrak orang. Entahlah siapa yang kali ini
ditabraknya.
"DUH! KALO
JALAN LIAT LIAT DONG!" refleks
Shefa teriak karena pantatnya terasa nyeri sehabis berbenturan dengan lantai.
"DIH! ELO
TUH YANG NABRAK GUE!" suaranya seperti
laki-laki, namun Shefa tak memperhatikannya.
"YA BODO
AMAT,” Shefa pun langsung pergi dari sana karena kesal, ia
juga sedang malas jadi pusat perhatian saat ini. Sudah cukup rasa sakit karena jatuh saja yang ia rasakan, jangan rasa
malu juga.
Bahkan, ia juga tak sempat melihat
siapa orang yang habis ditabraknya tadi.
**
It's time to begin the fourth lesson.
"Duluan yaa
Sann!" teriak Shefa sambil lari terbirit-birit
ke kelas.
Ia lupa kalau
Revi tadi mengajaknya ke perpus bila ia sudah selesai dari kamar mandi.
"Duhh lupa
lupaa, kok aku jadi lemot gini siihh!"
Gadis itu berlari
secepat yang ia bisa menuju kelasnya. Belum sampai masuk kelas, Revi sudah
berkacak pinggang di tengah pintu dengan memasang muka garang. Merasa
bersalah, Shefa pun hanya mengangkat jarinya membentuk huruf 'V' sambil
cengengesan.
"Dasar
sempak! Ke mana aja sih lo tadi?" tanya Revi. Untung saja suaka margasatwa
Revi gak keluar, itu artinya ia sedang tidak benar-benar marah.
"Itu.. anu..
engg.."
"Apaan sih
anu-anu? Lo pikir dengan lo bilang anu-anu, gua bisa ngerti apa yang lo
maksud?"
"REVI! KAMU
TIDAK SOPAN!" ucap suara berat dari luar kelas. Seketika ekspresi wajah
Revi menegang karena teguran dari seseorang itu tadi.
"APA MAKSUD
KAMU BILANG ANU-ANU TADI HAH?" tanpa pandang bulu, suara bariton itu pun
membentak Revi dengan kerasnya di depan kelas.
Revi speechless,
meskipun ia pecicilan dan sering malu-maluin, tapi dia bukan tergolong siswi
bandel. Baru kali ini ia dibentak keras oleh seorang guru, wakil kepala sekolah
lagi.
"E-ee.. itu
pak nganu," keringat dingin pun mulai membasahi pelipis Revi. Tapi ia
mencoba untuk berekspresi biasa, meskipun aslinya panik luar biasa.
"NGANU-NGANU
LAGI? IKUT KE RUANGAN SAYA!" suara bariton yang berat nan menggelegar
bagai petir yang baru saja menyambar Revi dengan telak.
"Mampus
gue," batin
Revi.
**
It's time to have
second break.
"ALHAMDULILLAH,
KELAR SEMUA KELARR!!" teriak Revi bersemangat sambil mengusap keringatnya
yang bercucuran deras di dahi dan pelipisnya. Bajunya pun ikut basah karena
keringat.
Ya, ia dihukum
oleh Pak Banu karena masalah "anu" tadi. Sempat terjadi perdebatan
antara murid perempuan dan laki-laki paruh baya itu, tetapi tentu saja Pak Banu
yang menang, beliau lebih berkuasa.
Alhasil, Revi
harus hormat pada bendera merah putih hingga jam istirahat kedua. Dan sang guru
dengan baik hatinya menunggui Revi di bawah pohon yang rindang sambil
bermain gadget.
Katanya sih biar
Revi gak malu karna di siang bolong hormat ke tiang bendera sendirian, makanya
beliau menemani. Tapi menurut Revi, itu malah membuatnya tertekan karena ia
tidak bisa leluasa bergerak. Gimana mau leluasa gerak, bola mata tajam itu
selalu mengintai setiap gerak-geriknya.
Makanya saat bel
istirahat kedua tiba, tanpa malunya ia langsung berteriak sambil menghampiri
Pak Banu dan menyalaminya dengan hormat lalu pergi dari sana dengan riang
gembira. Seolah baru saja keluar dari neraka jahanam yang mengintainya barusan.
Dengan wajah
ceria, Revi melewati koridor demi koridor untuk mencapai kelasnya. Dan ternyata
apa yang ia lihat sangat mengejutkan, Shefa bersama seorang cowok! Yah, itu
bisa dibilang berita biasa saja sih. Hanya saja, cowoknya kali ini beda!
Komentar
Posting Komentar