Langsung ke konten utama

Untaian Kata

Orang bilang, untaian kata dapat mewakili rasa. Orang bilang, untaian kata dapat menghancurkan segalanya. Orang bilang, untaian kata dapat membangun rasa percaya. Bagiku, untaian kata dapat memporak-porandakan rasa di dada. Apalagi ketika kau berkata bahwa semuanya tak lagi sama. Kita yang dahulu pernah sedekat nadi, namun kini harus saling berjauhan bagai bumi dan matahari. Kita yang dahulu pernah saling mengisi hari-hari, kini saling melupakan apa yang pernah terjadi. Secepat itukah, sebuah rasa harus kurelakan. Secepat itukah, rasa sayang harus diikhlaskan. Secepat itukah, hati ini harus dihancurkan. Kamu. Seorang yang berhasil mengisi hatiku beberapa belas bulan belakangan. Namun sayang, kini tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dariku, yang masih memiliki perasaan.

Unexpected Meeting-3

Shefa mandi dengan terburu buru, bahkan hampir lupa untuk melepaskan pakaiannya. Setelah selesai, ia langsung mengenakan seragam, dan memoles diri dengan tergesa. Tak lupa, Shefa juga memakai jam tangan kesayangannya yang berwarna pink. Tapi saat ia melihat jam, ternyata masih pukul 6. Shefa terheran heran, bukankah tadi kata mama sudah jam setengah 7?
Refleks, ia pun melihat jam dinding yang menggantung di atas meja belajarnya. Di sana pun sama, masih pukul 6. Ia mengernyit sedikit, yang salah jam dindingnya, atau mamanya ya? Shefa pun segera mengambil tasnya dan keluar kamar, mencari mamanya yang ternyata sedang menyiapkan sarapan.
"Ma, katanya tadi sudah jam setengah 7, tapi di jam kamarku kok masih jam 6?" tanya Shefa sambil duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan.
"Loh iya to?" tanya mama Shefa sambil melihat jam dinding yang menggantung di dapur. "Tuh udah jam setengah 7 lebih, jawab mama Shefa sambil senyum senyum.
"Yaampun mamaa jam itu kan emang baterainya abis dari duluu,” Shefa gemas sambil mulai memakan nasi goreng favoritnya.
"Oiyaa deh mama lupa, sudah sudah, cepat habiskan sarapanmu, katanya piket, jawab mama Shefa sambil tersenyum lebih lebar.
Ayah Shefa hanya geleng geleng kepala sambil tersenyum mengetahui tingkah istrinya yang usil terhadap putrinya sendiri.
"Shefi mana mah? Kok belum nongol juga?" tanya Shefa.
"Shefi gak enak badan dari kemaren Shefa, dia absen hari ini, jawab mama Shefa.
"Oh, jawab Shefa singkat.
Shefi adalah kembarannya Shefa, lebih tepatnya Shefi adalah adiknya. Menurut orang-orang, Shefa dan Shefi sangatlah mirip, meskipun keduanya sangat menyangkal hal tersebut. Mereka berdua berbeda sekolah, Shefa sekolah di SMA Negeri 1 sedangkan Shefi sekolah di SMA Negeri 5.
**
Shefa sampai di sekolah pada pukul 06.25, jarak rumahnya ke sekolah memang tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu 10 menit saja ia sudah sampai di sekolah.
"Belajarnya yang serius ya nak, jangan banyak celometan,” ucap ayah Shefa sebelum putri sulungnya itu keluar dari mobil.
"Iya ayah. Assalamu'alaikum, jawab Shefa sambil mencium tangan ayahnya. Setelah itu, ia langsung keluar dari mobil dan menuju gerbang sekolah yang masih belum terlalu ramai seperti biasa.
Shefa berjalan gontai menuju kelasnya, XI-MIPA 1. Sesampainya di kelas, ia langsung duduk di bangkunya seperti biasa, yaitu di sebelah Revi. Tetapi nampaknya Revi masih belum datang karena tas tosca itu belum ada di kursi sebelahnya. Keadaan kelas juga masih cukup sepi, padahal sekarang sudah jam setengah 7. Shefa pun langsung mengambil sapu dan mulai menyapu kelasnya. Setelah menyapu, ia juga mengisi spidol dan membersihkan papan tulis.
Suasana kelas yang awalnya hening, tiba-tiba saja ramai karena sesuatu. Semacam ada benda padat yang berat berlari-lari di koridor, sudah gitu benda itu nabrak tempat sampah lagi.
"SHEFAAAA!!!!!" itu suara Revi. Dia berlari-lari dari ujung lorong dan saat akan masuk kelas dia sempat menabrak tempat sampah di depan kelasnya hingga menjadikan lantainya kotor lagi.
"Apaan sih Rev? Udah teriak teriak aja pagi pagi, nabrak tempat sampah pula, bersihin! Habis aku sapu tau!!" Shefa langsung nyerocos kesal karena lantainya kotor lagi gara-gara Revi yang gak hati-hati
"KENAPA LU GAK ACCEPT LINE NYA RADIT! GILA APA LU COGAN GITU LO SIA-SIAIN!" teriak Revi murka.
"Heh! Ngomong biasa aja bisa kali gausah teriak teriak! Pencemaran suara tau gak!" jawab Shefa agak membentak, ia sungguh kesal karena pagi-pagi begini sudah disuguhi sarapan yang gak mengenakkan macam Radit.
"Wait wait! Gue capek abis lari lari, bawa minum gak Shef?" jawab Revi dengan nafas tak teratur dan memegangi jantungnya, dari luar tapi.
"Yee dasar! Salah sendiri lari lari! Noh ambil aja di tas, aku mau ngebersihin sampah yang kamu jatuhin dulu, jawab Shefa sambil mengambil sapu lagi dan membersihkan koridor kelas untuk yang kedua kalinya.
Setelah selesai menyapu, Shefa pun masuk kelas dan langsung disambut oleh suara toa milik Revi.
"Shefaaa kenapa lu kemarin gak accept line nya Radit?? Dia tuh mau kenalan sama lo tau gakk!! Lo tuh harusnya bersyukur soalnya Radit kan ganteng banget tauu!! Udah gitu tajir, putih, tinggi, wihh perfect deh pokoknya! Masa ya lu cuekin gitu aja sih! Kan dia cuman mau kenalan, udah bagus tau ada yang mau deketin lu!" cerocos Revi dengan suara cemprengnya tanpa titik koma.
"Oh, gitu? Tapi gue gak pengen kenal tuh, jawabnya singkat lalu duduk di bangkunya dengan santai.
Ia mengutak-atik ponselnya sebentar, lalu memasang earphone di telinganya sambil bersenandung kecil.
"Shefa! Gue belum selesai ngomong!" ucap Revi agak kesal juga melihat tingkah laku Shefa yang masa bodo mengenai cowok.
"Ya lanjutin, jawab Shefa singkat sambil membaca buku biologinya.
"Ih Shefa dengerin gue dulu!" ucap Revi makin kesal.
"Iya ini aku juga dengerin. Cepetan ngomong!" jawab Shefa masih fokus ke buku paket biologinya. Padahal hari ini tidak ada ujian apa-apa.
"Ih gue serius Shefa!" jawab Revi sangat kesal dengan muka cemberut.
"Gue juga serius! Cepet ngomong! Kalo gak penting gak usah! jawab Shefa ketus karena merasa terganggu akan ocehan Revi yang kadang gak bermutu.
"Kenapa lu gak accept Radit?" jawab Revi sambil mengontrol emosinya. Punya sahabat macam Shefa memang harus ekstra sabar menghadapinya, bila tidak, bisa bisa dia sudah terkena darah tinggi.
"Males komunikasi sama tuh cowok, jawab Shefa masih fokus ke bukunya.
"Lah, emang udah kenal? Udah pernah ketemu?" tanya Revi bingung.
"Yap, jawab Shefa masih tak peduli.
"Kapan? Di mana?" tanya Revi lagi, kali ini binar matanya terlihat cerah. Ia benar-benar penasaran bagaimana bisa Shefa mengenal Radit, padahal kan Shefa gak peduli sama cowok.
"Kemaren, di Bukit Daun, jawab Shefa sambil melirik sahabatnya itu sekilas lalu fokus membaca lagi.
"Hah? Kok bisa? Kok lu gak bilang gue kalo ketemu Radit sih kemaren? Yaampun gue udah lama gak ketemu diaa, pengen banget ketemuu. By the way kok lu bisa ngobrol sama dia juga? Ih lu udah kenal lama ya sama dia? Atau jangan jangan selama ini lu itu mantannya dia? Jawab Shef jawabb!!" ucap Revi berapi api.
Shefa pun memutar bola matanya kesal, niat hati ingin belajar materi biologi, tapi sahabatnya ini malah nyerocos gak penting masalah Radit.
"Yaa kurasa gak penting aja buat nyeritain masalah Radit. Dan satu hal, aku baru kemarin kenal Radit, puas?" jawab Shefa dengan muka datar.
"Ya tapi kan harusnya lu ceri.."
The first lesson will be started in five minutes.
"Udah ya Rev, gak usah bahas Radit! Sekarang fokus belajar,” jawab Shefa mengakhiri perdebatan gak penting di pagi hari itu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel First Girl Karya Luna Torashyngu

Judul  : First Girl Penulis  : Luna Torashyngu Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tebal  : 280 halaman ISBN : 978-602-03-1753-3 Genre : Action Dalam novel kali ini, seperti biasa Kak Luna Torashyngu mengangkat tema yang tak biasa. Memang sih, genre action sudah biasa, tapi cara Kak Luna membuat berbagai karakter dengan konflik yang ada benar-benar membuat siapa pun yang membacanya akan ketagihan untuk terus membalik tiap lembaran buku itu hingga akhir cerita. Novel ini menceritakan tentang kehidupan Tiara yang awalnya hanya remaja biasa dan hobi hang-out bersama sahabat-sahabatnya. Namun, semuanya berubah ketika ayahnya terpilih menjadi presiden. Sebagai anak presiden, Tiara mendapat fasilitas pengamanan ketat dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sejak itu, kebebasan Tiara seolah terenggut. Saat hang-out dia selalu dikawal. Sebelum jajan di kantin, makanannya dicicipi lebih dulu oleh pengawalnya. Dan yang membuat Tiara bete , dia nggak bebas lagi ngecengin

First Impression

“Shariaaa tungguinnnn,” teriak seorang gadis berjilbab putih dari ujung koridor sambil mengangkat sedikit rok biru dongker nya agar langkahnya lebih leluasa. Bros berwarna merah dengan bentuk stroberi yang terpasang manis di kepala sebelah kirinya berayun-ayun kecil mengikuti setiap langkah kakinya yang tergesa. Sementara di ujung koridor yang lain, gadis dengan seragam yang sama dengan gadis tadi masih berjalan santai tanpa menghiraukan teriakan kawannya itu. Langkahnya tetap sama, tanpa berkeinginan untuk mengurangi kecepatannya. Dari wajahnya tersirat senyuman iseng yang menyebalkan, tentu tanpa sepengetahuan kawannya. “ Hoy Shariaaa!! Tungguinn!” teriak gadis itu lagi sambil menambah kecepatannya untuk menyusul kawannya yang sedang menulikan diri. “ Hueh dipanggilin daritadi juga,” ucap gadis itu setelah bisa menyejajarkan langkahnya dengan gadis satunya, nafasnya lumayan terengah juga karena berlarian dari kelas mereka yang terletak di koridor paling ujung. “Salah sendiri

2017 dan Secuil Pengalaman Baru

Awal tahun 2017, waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 11 masuk semester 2. Di awal tahun ajaran, ada salah satu wartawan dari Koran Memo yang mewawancarai organisasi pramuka di sekolahku. Hanya perwakilan saja sih, karena yang diwawancarai hanya BPH dan salah satu anggota dewan yang lain. Kebetulan, aku menjabat sebagai Kerani (sekretaris), maka otomatis aku ikut diwawancarai. Waktu itu, aku mengatakan bahwa impianku di tahun ini adalah menjadi Duta Kesehatan Remaja Kota Kediri tahun 2017 dan bisa membuat karya yang disukai orang lain. Ini terjadi pada awal bulan Januari 2017. Selain itu, aku juga sangat ingin memenangkan olimpiade siswa kota mata pelajaran fisika (karena memang dari kelas 10 aku sudah mengikuti bimbingan olimpiade di sekolahku). Namun, Allah berkehendak lain. Karena begitu padatnya kegiatan pramuka pada bulan Januari hingga Mei, aku jadi tidak bisa untuk berkonsentrasi pada sesuatu yang ingin aku raih. Hingga akhirnya, ketika teman-temanku mengikuti beberapa